Akung Mohammad Subahar dan Mohammad Bahnan
Pada kesempatan bulan Mei 2024 ada suatu usul menarik yang diajukan para cucu kepada penulis. Mereka ingin mengenal kakek dari pihak saya dan kakek dari pihak istri yang dalam bahasa Jawa disebut Kakung (Embah Kakung), atau yang mereka sering menyebutnya dengan Akung. Mereka ingin tahu detail tentang kakek mereka berikut juga neneknya dari pasangan beliau berdua. Untuk menyauti itu, baiklah dalam tulisan diperkenalkan: siapa sebenarnya Akung Subahar dan Akung Bahnan itu? Dimana beliau lahir? Dimana beliau dididik dan mengembangkan diri? Dan kapan wafat beliau.
Nama Lengkap
Akung Subahar itu memiliki nama lengkap Mohammad Subahar, dipanggil masyarakat dengan nama Kiai Haji Mohammad Subahar, atau Kiai Subahar. Beliau lahir di Desa Tangsil Kulon Bondowoso pada Tahun 1921, dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar dan Nyai Hajah Mirati. Beliau putera pertama dari delapan bersaudara yaitu: Mohammad Subahar, Nawawi, Khotib, Rofi’i, Baidhowi dan As’ad; ada juga dua dari saudara beliau yang meninggal dunia di masa kecil.
Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj Siti Badriyah, yang bernama asli Sri Indiah (lahir1934), Akung Subahar memiliki delapan putera yaitu Zamakhsyari, Muhashshonah, Mohammad Erfan Subahar, Lilik Siti Halimah, Abdul Halim Subahar, Mohammad Dhofir, Mohammad Fadli Subahar, Zarkasyi Subahar. Selain ini, ada juga seorang saudari kami lahir dengan istri kedua Akung yaitu Ibu Na’ah yang bernama Siti Maria.
Kalau Akung Bahnan memiliki nama lengkap Mohammad Bahnan, atau lengkapnya Haji Mohammad Bahnan. Beliau lahir di Kudus pada Tahun 1925.
Beliau lahir dari pasangan Embah Haji Rahmat dengan Hajah Rahmah, memilikiketurunan yaitu: Ambarı, Mohammad Bahnan, Sajad, Sumbaji, Choiriyah, Rifan Harjito, Khodijah, Kholidah dan Etik Rubiyati.
Dari pasangan dengan istri beliau Hajah Munifah yang lahir di Kudus Tahun 1933, beliau dikaruniai empat keturunan yaitu: Wardati [w.2016), Lathifah, Ahmad Taufiq (w.2020), dan Muhammad Zainuri.
Pendidikan/Pengalaman
Kedua Akung itu sama-sama mengalami pendidikan di pesantren. Akung Subahar, menyelesaikan pendidikan pesantrennya di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Ibrahimy Sukorejo Asembagus Situbondo yang menggunakan pendidikan dengan model kurikulum klasik, dimana murid kelas lima Madrasah Ibtidaiyah sudah menghatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin. Sementara kelas enamnya sudah dapat membaca kitab-kitab fiqih besar yang empat belas seperti Kifayatul Akhyar, Fathul Mu’in, dan lain-lain yang banyak digunakan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan soal-soal hukum dalam penyelesaikan perkara di Pengadilan Agama.
Manakala Akung Bahnan, menyelesaikan pendidikan di Pondok Gontor Darussalam. Beliau memiliki kawan akrab di Pondok Gontor dulu antara lain Dr. H.Musthofa Shonhaji (alm), yang dimasa hidupnya sering saling bersilaturahim secara bergantian di Kudus.
Untuk mengembangkan pengalamannya, masing-masing dari beliau selain mengamalkan ilmunya di dalam kehidupan, selalu membaca Al-Quran dan kitab-kitab sebagai aktivitas harian, juga beramal dalam aktivitas di masyarakat.
Untuk Akung Subahar, beliau sudah ditulis pengalamannya oleh adinda Abd Halim Soebahar dalam buku Kiai Subahar dan Perjuangannya.
Tinggalan Beliau
Kedua beliau sama memiliki perhatian bagi kehidupan agama dan pendidikan umat. Untuk Akung Moh Bahnan, beliau perhatiannya banyak dicurahkan kepada pembinaan agama putera puterinya, sehingga keempat putera puteri beliau memiliki pengalaman pendidikan minimal S1 untuk yang puteri yakni Siti Wardati S.Pd.I dan Lathifah, S.Pd.I, sementara yang putera masing-masing susah mencapai magister yakni Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag dan Drs. Mohammad Zainuri, M.Si.
Sementara Akung Subahar memiliki perhatian kepada perjuangan kemerdekaan, kepada kehidupan agama dan pendidikan uman. Semasa beliau hidup, sejak muda sudah banyak ditempa peluang untuk belalar dengin tekun di alam pesantren. yang sepulangnya beliau selain mengajarkan ilmu agama di pesantren yang ditinggalkan ayahnya KH Abu Bakar,juga bertani di samping menjadi pengawai di kemqnterian agama. Dari tempaan beliau yang kemudian dilanjutkan oleh puetera-puterinya, kini Pondok Pesantren Bahrul Ulum, yang dulu dikenal dengin Pesantran Zaenul Bahan tetap berdiri dengan megah pondok pesantren dengan pendidikan formalnya baik Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah terus berdiri menghiasi Desa Tangsil Kulon, Kecamatan Tenggarang dan Kabupaten Bondowoso di Jawa Timur.
Waktu Wafat Beliau
Sekarang kedua embah kakung beserta istrinya sudah sama meninggalkan kita untuk selama-lamanya dengan meninggalkan jasa-jasa baik bagi dunia ini. Akung KH Moh Subahar sudah wafat di Desa Tangsil Kulon Bondosowo pada 14 Desember 1993 dałam usia 72 Tahun, sementara Akung Haji Moh Bahnan wafat, 13 Tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Agustus 1985 di Kauman Menara Kudus. Sedang Embah puteri, yang wafat lebih dahulu adalah Uti Hj Munifah yang wafat di Kauman Menara Kudus 8 Agustus 2004 dalam usia 70-an tahun. Kemudian, 15 tahun kemudian Embah Puteri Hajah Șiți Badriyah, wafat di Tangsil Kulon Bondowosao pada 26 Juli 2019 –beberapa waktu sebelum penulis menunaikan ibadah haji selaku TPHD– dalam usia relatif sepuh 85/87 tahun (Erfan Subahar).