Berlibur Bersama Cucu di Rumah

Menjelang datangnya Waisak kita bisa memilih liburan ringan. Liburan yang tidak usah mengeluarkan banyak dana tapi menyenangkan. Liburan pilihan keluarga, bersama cucu. Bagi kami, cucu dari anak yang pertama, yang sekarang sudah empat orang. Mereka semua saat ini dekat tinggal dengan eyang kakung dan eyang puterinya. Tiga puteri dan satu putera, semuanya membawa suasana yang menyenangkan bagi keluarga.

Mereka anugerah Allah yang tak lain dari amanah bagi kita. Dikatakan amanah, sebab cucu ini sekarang tinggal bersama kedua orang tua puteri dan eyang serta tantenya, di lingkungan rumah keluarga Beringin, Ngaliyan, Semarang. Kemana ayahnya?

Akung ayahnya, Uti dan Ummi ibunya

Kami sudah membuat kesenangan baru tanpa harus memikir ayah cucu. Biar saja, ayahnya berulah menurut maunya. Mencari dan menemukan kepuasannya sendiri. Kami sudah menganggapnya itu atas kemauan dia, cukuplah bagi kami membiarkan saja.

“Ayahnya, sudah kita relakan lepas dari keluarga kami,” begitulah. Kami ke depan kepingin membina keluarga dalam tatanan yang benar dan etis. Kami suka yang punya pendirian kuat. Bagi kami, tidak layak bersama kami kalau orang punya hobi suka pindah-pindah pasangan. Sebab itu kezhaliman, yang tentu saja dikutuk Tuhan.

“Entahlah soal sang ayah, dia mau cari pasangan berganti-ganti hingga berapa istri lagi,” kami sudah membiarkan urusan dia. Kami ganti memilih yang menyelamatkan ibunya dan anak-anaknya bagi membina masa depan mereka yang memberdayakan. Mengapa?

“Karena mengurusi hobi ayahnya adalah kerja sulit, menguras energi, alias kerja sia-sia sebab sukar disetop,” ya biarlah berjalan semaunya. Tokh, “Sepanjang istri dan keluarga rela melepaskannya, kami sudah selesai beban?” pikir kami.

“Hobinya aneh. Mengaku agus. Kadang mengaku kiai. Dimana bertemu dengan orang: bisa konsultasi gratis. Orang menurutnya bisa dididiknya, sehingga gampang mempunyai mobil? Kok perbuatannya sering terlontar lewat omong kosong, yang jelas tidak logis,” tanya tetangga yang pernah mengamatinya.

Bagi kami fenomana kehidupan demikian itu pelajaran. Karena setiap rumah tangga, oleh Allah Sang Pencipta, sudah disiapkan ujiannya. Untuk menguji terutama, “kita ini serius benar ataukah justru tidak dalam beriman dan beramal di jalan-Nya. Atau kita justru hanya mampu bersilat lidah di hadapan Pencipta kita, yang ternyata itu kemunafikan yang dibungkus dengan “taqwa palsu” yang di tampak-tampakkan melalui kopiah, surban, gamis, dan tampilan lain.” Yang mesti diingat, hanya ketulusan dan takwa kitalah yang sampai kepada-Nya.

Keluarga kami akhirnya memutuskan untuk membiarkannya. Terutama, setelah hakim menggedok keputusan, “Menyatakan berlaku talak, atas gugatan pihak istri dengan membayar iwad.” Keluarga kami siap atas kenyataan, dan rumah damai insya Allah.

“Sebab kalau kita sadar, hidup kita pasti terbatas. Kita terbatas dalam masa hidup. Terbatas dalam kepintaran. Terbatas dalam kemampuan. Juga terbatas dalam kemauan, termasuk kemampuan nafsu, begitu bukan?” tanyaku sambil mempermantap diri.

Cucu dan Kejuangan Keluarga

Kami sudah memilih hidup senang bersama anak cucu. Sambil terus berjuang di jalan Allah. Misalnya, akan terus mendidik anak-anak ngaji yang 50an tiap hari di rumah. Mengisi pengajian tafsir dan hadis Jum’at subuh di Bedagan dengan 200 jamaah. Menyempatkan menjadi khatib di Masjid Kampus IAIN, di Masjid Besar Semarang, di Masjid Agung Jawa Tengah, juga di Masjid Al-Ikhlas Dekat PRPP sana. Sesekali saya menyempatkan mengisi Pembinaan di Yayasan Pendidikan Islam Darul Ulum, yang sudah sejak 1991 saya menangani bersama pengurus lain.

Berlibur juga bagian dari kesyukuran kita. Setelah bekerja selama hari-hari kerja, maka beristirahat dari kesibukan menjadi semacam kenikmatan yang tiada tandingan.

Selain berada di rumah bersama cucu, yang sudah mulai berada di usia 6 tahun yang barep, di kesempatan lain saya mereka bersenang-senang. Terkadang, mereka saya ajak mereka ke pantai. Diajak suatu ketika menyantap bakso kesukaannya. Atau juga ke toko, atau ke pasar naik mobil pribadi. Kadang juga diantar ke kos teman-taman yang bersekolah di TK bersamanya. Wih, pokoknya senanglah.

Cucu, yang semua rambutnya kriting, banyak orang yang menyenanginya. “Wih, rambutnya semuanya seperti mie ya,” tegor orang-orang yang menjumpainya.

Ya begitulah kami sama berlibur. Termasuk mengisi liburan seperti yang berlangsung di hari Waisak ini. Syukur kepada-Mu ya Allah, ternyata di balik rasa suka, rasa khawatir, dan juga rasa kecewa, getir yang dihadapi dengan tulus dan sabar, di situ rupanya ada suatu rahasia bagi tiap-tiap keluarga dari hamba-Mu ya Allah, yang tak lain dari sinar-Mu ya Bashir, ya Sami’, ya Qarib, wa ya Sami’ad Du’a’ (Erfan).

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *