Bersedekah kepada Si Miskin, Anak Yatim dan Tahanan (Q-02)

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ayat pada Surah Al-Insan (76) ayat 8 sebagai berikut ini:

وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًۭا وَيَتِيمًۭا وَأَسِيرًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (Q.S. Al-Insan/76: 8)
 
Penafsiran Ibnu Katsir
Imam Malik telah meriwayatkan dari Talhah ibnu Abdul Malik Al-Aili, dari Al-Qasim ibnu Malik, dari Aisyah , bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia taat kepada-Nya; dan barang siapa yang bernazar akan durhaka kepada Allah, maka janganlah ia durhaka kepada-Nya. Imam Bukhari meriwayatkan hadi ini melalui Malik. Dan mereka meninggalkan hal-hal yang diharamkan yang mereka dilarang melakukannya terdorong oleh rasa takut akan tertimpa hisab yang buruk di hari kemudian. Yaitu hari yang padanya azab terdapat merata di mana-mana, yakni menyeluruh menimpa manusia semuanya terkecuali orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abbas mengatakan bahwa mustatiran artinya fasyiyan, yakni merata.
Qatadah mengatakan, “Demi Allah, azab di hari itu benar-benar merata hingga memenuhi langit dan bumi.” Ibnu Jarir mengatakan, bahwa termasuk ke dalam pengertian ini ucapan mereka (orang Arab), “Keretakan itu telah merata mengenai semua permukaan kaca.” Juga perkataan seorang penyair, yaitu Al-A’sya: Maka berpisahlah dia (kekasihnya) dengan meninggalkan keretakan dalam hati yang bekasnya merata di mana-mana. Yakni memanjang dan sangat mendalam kesannya.
 
Firman Allah Swt,: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya. (Al-Insan: 8) Menurut suatu pendapat, karena cinta kepada Allah swt dan mereka menjadikan damir yang ada merujuk kepada lafal Allah berdasarkan konteks kalimat. Tetapi menurut pendapat yang jelas, Domir ini merujuk kepada makanan, yakni mereka memberi makan orang miskin dengan makanan kesukaan mereka. Demikianlah menurut Mujahid dan Muqatil serta dipilih oleh Ibnu Jarir, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat lain: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. (Ali Imran: 92) Imam Baihaqi telah meriwayatkan melalui jalur Al-A’masy, dari Nafi’ yang mengatakan bahwa Ibnu Umar sakit, lalu ia menginginkan makan buah anggur karena saat itu sedang musim buah anggur. Maka Safiyyah alias istri Ibnu Umar menyuruh kurirnya untuk membeli buah anggur dengan membawa uang satu dirham.
 
Setelah membeli anggur, si kurir dikuntit oleh seorang peminta-minta. Ketika kurir masuk rumah, si pengemis berkata, “”Saya seorang pengemis.”” Maka Ibnu Umar berkata, “”Berikanlah buah anggur itu kepadanya,”” lalu mereka memberikan buah anggur yang baru dibeli itu kepada si pengemis. Kemudian Safiyyah menyuruh pesuruhnya lagi dengan membawa uang satu dirham lainnya guna membeli buah anggur. Uang itu dibelikan setangkai buah anggur oleh si pesuruh. Dan ternyata pengemis itu menguntitnya kembali. Ketika si pesuruh masuk, pengemis itu berkata, “”Saya seorang pengemis.”” Maka Ibnu Umar berkata, ‘”Berikanlah buah anggur itu kepadanya,” Lalu mereka memberikan buah anggur itu kepada si pengemis. Akhirnya Safiyyah menyuruh seseorang untuk memanggil si pengemis itu, dan setelah datang ia berkata kepadanya, “Demi Allah, jika engkau kembali lagi ke sini, engkau tidak akan mendapat suatu kebaikan pun darinya selama-lamanya.” Setelah itu barulah Safiyyah menyuruh pesuruhnya lagi untuk membeli buah anggur.
Di dalam hadis shahih disebutkan: Sedekah yang paling utama ialah yang engkau keluarkan, sedangkan engkau dalam keadaan sehat lagi kikir, mengharapkan kaya dan takut jatuh miskin. Yakni dalam keadaan engkau menyukai harta, getol mencarinya, serta sangat kamu perlukan. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Al-Insan: 8) Orang miskin dan anak yatim telah diterangkan definisi dan sifat-sifat keduanya.
 
Adapun yang dimaksud dengan tawanan, maka menurut Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan Adh-Dhahhak, maksudnya tawanan dari ahli kiblat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa tawanan mereka pada masa itu adalah orang-orang musyrik. Hal ini diperkuat dengan adanya anjuran Rasulullah yang memerintahkan kepada para sahabatnya untuk memperlakukan para tawanan Perang Badar dengan perlakuan yang baik. Tersebutlah pula bahwa kaum muslim saat itu mendahulukan para tawanan untuk makan daripada diri mereka sendiri. Ikrimah mengatakan bahwa mereka adalah budak-budak belian, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat makna ayat umum menyangkut orang muslim dan juga orang musyrik.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *