Membesuk Dinda Taufik di RS Yarsi Solo
Membuat suasana segar kembali bisa melalui banyak cara. Bisa melalui silaturahmi, bisa melalui membesuk kawan atau famili yang sakit, dan tentu juga bisa melalui rekreasi atau studi tour kemana kita mau. Pada hari Ahad ini, saya menempuh cara besuk, yaitu menengok adik ipar Ahmad Taufiq yang kebetulan sakit di Yarsi Solo.
Setelah beberapa hari belakangan fokus diarahkan ke menyelesaikan laporan penelitian, rasa jenuh saya atasi dengan pergi dulu ke Solo. Bersilaturahmi atau besuk, saya lakukan ke tempat yang bersebelahan dengan Universitas Muhammadiyah Solo itu.
Fisik dan Pikiran Terforsir
Seberapapun kekuatan manusia, baiknya diperhitungkan. Hal ini bisa diambil contoh. Misalnya, tatkala kita masih muda, sering kerja-kerja berat dan berjarak jauh kita ambil. Maklum fisik masih kuat. Jarak 100 km mudah saja ditempuh dari hari ke hari selama beberapa tahun. Maklum, perkawinan kadang baru dilakukan, sehingga tubuh ini masih senang-senangnya bekerja, melakukan apa saja. Jangankan kerja-kerja yang kecil, kerja beratpun tidak masalah. Bisa sedikit juga bisa banyak yang bisa ditangani. Itupun kadang-kadang kuat kita lakukan dalam ukuran jam yang tergolong tinggi. Tidak hanya 8 jam yang siap dilakukan, 10-12 jam pun bisa dihadapi, kalau masih ada pekerjaan. Baik itu pekerjaan fisik ataupun pekerjaan yang menguras pemikiran.
Dulu, adinda Taufiq ini tergolong begitu lincah bekerja. Kuat menanggung beban berat dan berpikir berjam-jam. Mengajar bahasa Indonesia yang merupakan bidangnya. Juga ber- ceramah selalu sanggup dilakukan dengan jam-jam yang menantang. Bisa kerja yang cepat, dan bisa juga yang lambat. sama disuka, dan disenanginya, karena itu tantangan.
Namun, tatkala usia sudah di atas lima puluhan. Kerja-kerja fikiran yang cepat juga yang cukup menguras tenaga, jika dilakukan dalam kadar seperti di masa usia 30 sampai 40an, rupanya sudah lain. Ternyata usia bertambah, kekuatan tenaga juga sudah tak seperti dulu, kian berkurang.
Belajar Terus Bersyukur
Apa sebenarnya yang kita cari? Pertanyaan ini pendek, tapi rupanya perlu juga direnungkan. Sebab, jika hidup ini hanya mencari, padahal dalam pencarian itu kita lupa tidak bersyukur, bisa jadi pekerjaan kita bukan tambah mumbul, tetapi tanbah membuat otak itu tumpul. Bukan tambah berkah, tapi semakin membawa badan dan diri ini serakah, yang hal ini tentu akan membawa bahaya pada badan kita. Pelan-pelan tetapi pasti, badan yang dulu sanggup menangani banyak hal dan nyaris pasti. Ketika masuk lima puluhan, jika tidak bisa, diam-diam tergerogoti, oleh perasaan yang tidak pernah puas, kurang bersyukur. Padahal, bersama itu pula, anak-anak kita sudah mulai menginjak dewasa. Sementara kita, diam-diam berusia merangkak tua, dan diambang manula.
Sikap ternyata penting. Kita tidak cukup hanya menjadi orang yang trampil. Pergi kerja ke sana, pergi lagi ke sini. Ceramah ke sana, nyambut lagi ceramah ke tempat lain lagi. Atau mengajar di berbagai tempat; di perguruan tinggi, di SLTA, di SLTP, juga mengisi pengajian di mushalla-mushalla. Satu yang mesti diingat, diri ini sudah terbatas. Sekalipun tentu, bukan harus berhenti dari semua kegiatan. Bekerja dengan bijak, di usia tua adalah hal yang layak kita timbang-timbang, supaya hasilnya tidak membuat kecewa dan dapat menyelamatkan badan, dan memperpanjang usia diri.
Sikapnya: memandang bahwa diri ini dianggap telah cukup. Tinggal, mengabdikan diri pada semaksimal yang dapat ditangani sesuai dengan keahlian kita yang dipilih saja, ya tidak mengapa. Agar, dengan dua hingga tiga empat kegiatan sehari asal itu produktif tak apa. Saya pikir hasilnya akan dapat dilihat dalam satu semester atau satu tahun.
Dalam hal mengarang misalnya. Jika selembar artikel dapat disusun setiap hari maka hasilnya tentu bisa sebuah buku setebal 180an halaman bisa dibuat setiap semester. Jika kita dapat mengajar 1-2 kelas setiap hari, maka dalam satu bulan kita sudah bisa bekerja dengan banyak jam. Itu belum dihitung jam-jam dimana kita bekerja di pengabdian. Menjadi khatib di masjid. Berceramah di hadapan jamaah masjid setiap seminggu dua kali. Atau berkiprah dalam penyuluhan di RT dan RW sebulan dua kali. Tentu sudah banyak yang dapat kita lakukan.
Soal banyak atau sedikit, hal itu bisa sama dibuat berkah. Dengan apa? Dengan selalu kita bekerja tulus dan diperkuat dengan rasa syukur. Sikap ini, sungguh penting. Karena kehebatan orang itu, tidak sekadar muncul dari banyaknya dia bekerja, tetapi juga bagaimana kita menyikapinya. Terutama, dengan sikap bersyukur.
Kerja ikhlas dan banyak bersyukur
Sebenarnya, apapun yang bisa kita lakukan. Yang terpenting sesungguhnya di ikhlasnya kita berbuat, dan banyaknya kita berucap dan merasa bersyukur. Karena dengan ikhlas, yang berarti kita berbuat dari kemurnia amal diri kita, perasaan bahagia timbul dari waktu ke waktu. Dan dengan dibarengi rasa syukur, maka tidak ada yang hilang dari diri kita. Kerja-kerja itu terbawa ke rasa senang, meletupkan api semangat. Jika satu hari mendapat suatu hasil, lalu terungkap syukur kita, dan lebih-lebih itu berangkat dari nawaitu yang tulus, maka satu sikap bisa merengkuh dua keuntungan. Pertama, beruntung diterima amaliah karena dilakukan secara ikhlas, dan kedua akan bertambah lagi prestasinya karena dibalik semua hal yang diperoleh selalu dipermantap dengan kesyukuran kita. Fisik semakin tua, dengan begini tidak akan semakin ngelokro, tetapi akan selalu siap menyambut kerja-kerja prestatif karena diri kita senang dan tulus melakukannya, sedang pekerjaan apapun yang dihasilkan tidak ada kecewa di hati karena yang kecilpun kita syukuri. Padahal, kesyukuran atas hal-hal yang kecil itu, membawa kita juga berhasil. Mengingat, hal-hal besar itu adalah tumbul dan mengkristal besar sebagai bola bumi dari yang dulunya kecil-kecil itu.
Semangat dik Taufiq ya, semoga segera sembuh. Dan dapat berbuat yang terbaik lagi pada kampus UNS, dan berceramah lagi menjadi kiai di wilayah-wilayah di Solo. Kalau sudah sembuh, tetap suka bersilaturahmi di antara kita, agar hingga berapun sisa usia terasa panjang bagi dunia (Erfan Subahar).