Bondowoso, Semarang, dan Jakarta (1)
Tiga kota ini tidak mudah lepas dari ingatanku. Sejak kecil di Bondowoso, aku mengukir pendidikan masa kecilku sampai lulus sekolah menengah pertama negeri. Tiga puluh kilometer dari kota ini, Jember juga aku punya kesan, aku melek pendidikan menengah atas dan juga mulai belajar kepemimpinan juga di kota ini, baik sebagai Ketua Osis maupun Ketua Wilayah di Pondok Pesantren Al-Fattah Jember.
Di Surabaya, aku membuat batu loncatan. Di kota Pahlawan ini, aku merasa bangga dengan kegagahan kotanya. Namun di kota itu, dalam pendidikanku aku hanya untuk membuatnya batu loncatan, sebelum lulus studi S1 di IAIN Semarang, untuk memperoleh BA atau Drs. Suatu titel yang ketika itu begitu membanggakan bagi penyandangnya. Kemudian aku mengarahkan perhatian ke Barat (yaitu Malaysia), lalu ke Timur (yaitu Makassar), baru dari situ aku melompat lagi ke Barat yaitu ke Jakarta. Di kota metropolitan itulah aku menyelesaikan pendidikan tertinggiku pada program doktor pengkajian Islam diĀ tahun 2001 atau tepatnya awal tahun 2002.
Entah bagaimana ayahku mendidikku dulu. Aku terasa ditempa, bahwa benar-benar aku diyakinkan agar suka menghormat. Menghormat guru, kiai, dan para pendidik. Dan tidak boleh sekali-kali menyepelekan mereka. Terlebih lagi Pencipta Kita. Tidak boleh sedikit pun aku mengentengkan-Nya. Tetapi, mestilah meyakini kehebatannya. Aku mengikuti sepenuhnya hal itu. Aku mematuhi benar pikiran itu. Sampai aku mau kawin pun tidak goyah sedikit pun pikiranku dengan masa depan; bahwa kalau aku melangkah mantap yakin atas jaminan Tuhan, di situlah Tuhanku bersamaku. Tegasknya, aku kadung menjadi orang seperti itu, aku sepertinya memilih jalan yang begitu. Itulah yang mewarnaiku sampai ditulisnya judul ini saat ini, 2 Oktober 2013.
Bisa jadi, ini kehendak Allah atasku. Aku tidak memilikir jauh kenapa aku seperti itu. Jadinya aku sayang ayah, karena beliau adalah orang tuaku, juga guruku, serta juga yang telah banyak berkorban menuruti pikiranku yang kadang-kadang terasa “nakal.” Suatu malam, aku diajak Ayah menghadiri rapat akbar di suatu desa 15 km-an dari rumah. Aku tidak diberi tahu oleh Ayah desa apa itu, karena ayah memang suka mengenalkanku dengan para kiai besar di mana pun pengajian akbar itu diadakan. Ayah menyukainya, yang dalam pada itu aku selalu diminta untuk ikut ayah. Menyalami pembicara terpandang, dengan mencium tangannya. Aku lalu dibilangnya ganteng, bagus, wah… buanyak … sekali. Entah, kenapa aku juga senang ya dibilang begitu.
Kemana-mana rapat akbar keagamaan ketika itu, ayah selalu menyempatkan membawa saya naik sepeda ontel. Tentu bukan karena ayah tidak tahu isi apa yang dibicarakan penceramahnya. Tetapi ayah memang gemar ngaji. Karena ternyata, setelah aku dewasa, aku tahu bahwa yang dipelajari ayah di masa kecilnya ternyata jauh dari yang aku pelajari di masaku sekarang. Misalnya, ayah menurut penuturannya, mengajar kelas tiga dari materi yang pernah diterimanya di kelas empat, seperti mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali kepada adik kelasnya. Padahal, mana ada di masa sekarang sekelas SD atau MI yang bisa mengajar kitab segede itu. Jelasnya, ayahku tidak pernah berhenti mengaji baik melalui rapat-rapat Akbar, Pengajian, maupun di forum sederhana seperti mengaji obrolan di RRI setiap selesai subuh.
***
Selepas dari perjuangan melawan kolonial, ayah mulai lega. Karena di masa penjajahan Belanda, secara rurin ayah meninggalkan rumah Tangsil Kulon setelah salat subuh. Beliau berjalan kaki sejauh 20 kelometer dari rumah, untuk tugas suci, menumpas penjajah Belanda yang dilakukan oleh para pejuang hizbullah. Perjuangan itu dilakukan nya hari ke hari, dari semenjak beliau remaja sampai Indonesia sudah merdeka. Entah sudah berapa Bule yang digagalkan menyerap raga dan harta Bangsa, berkat ketangkas an Kiai Subahar muda dalam berjuang.
Begitulah dari hari ke hari beliau berjuang, sampai hengkang Belanda dari tanah Bondo- woso. Lalu beralih kepada penjajah Jepang di tahun 1942.
Keperkasaan dalam berjuang, suatu hari mengenal nahas. Jika sebelumnya, banyak tempat yang diselamatkan dengan keikutsertaaan Bapak dalam berjuang, namun di masa Jepang ada satu hal yang diketahui oleh Jepang tentang Desa Tangsil Kulon yang ketika itu komando banyak dipimpin oleh Kiai Subahar melalui pondoknya di Tangsil Kulon.
Tahu Jepang akan keadaan itu, akhirnya suatu ketika rumah Kiai Subaharlah yang diserbu. Pondok Pesantren yang sekarang bernama Pondok Pesantren “Bahrul Ulum” di serang Belanda, diobrak abrik oleh Jepang, kitabnya banyak diambil, lalu dibakar. Konon ketika dibakar, tidak ada satu pun yang terbakar ketika itu.
Ketidak-berhasilan membakar pondok, bukan berarti sudah selesai. Malah, menjadikan Jepang itu tidak hanya sekali menghancurkan tempat kami. …..
Perjuangan Kiai Subahar, ternyata tidak hanya berhenti di sekitar Bondowoso. Beliau pernah menjadi wakil tokoh Bondowoso ke suatu rapat yang diadakan oleh Jepang di Jakarta. Panjang cerita ini, hingga akhirnya penjajahan Jepang hengkang dari Indonesia.
***
Kelegaan Ayah dari masa penjajahan, dilanjutkannya dengan kembali ke mendidik. Ayahku suka mendidik santri diiringi dengan membangun gedung sendiri. Setelah Indonesia merdeka, ayah menangani rintisan embah Haji Abu Bakar, ayahnya doeloe. Yaitu Pondok Pesantren yang porak poranda karena embah dibawa Rumusa, kemudian dibenahi lagi oleh Ayah.
Santri yang dulunya dibina oleh Embah Abu Bakar, mulai ditata lagi oleh Ayah. Kiai Subahar muda, mulai berjuang mendidik para santri. Bermula dari santri empat, enam, sepuluh, dan seterusnya sampai menadi puluhan, hingga sekitar 200 san santri.
Menyusul, insya Allah…..