Drs. K.H. Abd. Karim Assalawi Telah Berpulang Ke Rahmatullah

Pada hari Jum’at siang, 1 Januari 2015, Doktorandus Kiai Haji Abdul Karim Assalawi Magister Agama itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Beliau wafat dengan meninggalkan tiga putera dan satu puteri, yang hingga sekarang masih didampingi oleh Ibu Nyai. Wafatnya memang terjadi pada hari Jum’at seperti yang beliau inginkan demikian, yaitu pada hari Jum’at Pukul 12.00 siang hari.

 

Saat Takziyah ke Ngadiluwih Kediri

Setelah sore hari Kamis, 31 Desember 2015, saya bersama istri besuk ke Kiai Karim yang dirawat di ruang ICU IGD RSU Kariadi, di dalam keluarga ada kejutan lain. Pada hari Jum’atnya, pukul 09.00 Mas Aziz bin Shaleh, adik dari Menantu kami Whildan tabrakan sepeda motor, dan beberapa waktu kemudian setelah dirawat di rumah sakit, dia meninggal. Keluarga tentu sangat kaget, karena satu keluarga yang hanya memiliki dua putera, yang satu lagi dan masih remaja dan belum berkeluarga tiba-tiba meninggal dunia.

Dalam keadaan badan agak lemas tetapi masih kuat, setelah menjemput ananda Naily yang kebetulan saat itu baru pulang dari Bogor untuk berlibur di Semarang, saat itu pukul 24.10 WIB saya menjemputnya di Stasiun Tawang. Pukul 13.30 WIB kami sudah keluar dari Stasiun Tawang, membawa pulang ke rumah ananda kedua itu dalam keadaan dia Hamil bulan ketujuh. Dia pulang sendiri, tidak bersama suaminya, karena suaminya mengantar jenazah, adik Kandungnya Aziz yang meninggal karena kecelakaan itu.

Naily, karena sedang hamil, disepakati keluarga untuk tidak ikut berangkat ke Kediri mengantar jenazah. Ia cukup ke Semarang untuk cuti dan menyelamati kandungannya, setelah empat bulan yang lalu diselamati di Cibinong Bogor. Orang yang kini aktif di Widiaiswara LIPI ini, mulanya kepingin berangkat ke Kediri, tetapi mengingat kandungan-nyalah, ia akhirnya tetap melanjutkan rencana cutinya di Semarang.

Kembali ke Takziah di Ngadiluwih. Feeling untuk pergi ke Ngadiluwih sepertinya ada tarik menarik dengan kondisi Kiai Karim yang dekat dengan panggilan Tuhan atas kepulangan beliau untuk selama-lamanya itu. Dalam kondisi kepala yang sedang kemut-kemut itu, keluarga memutuskan kami jadi berangkat ke Ngadiluwih Kediri untuk takziah. Kepergian yang kebetulan di tanggal satu bulan satu di awal 2016 itu, terasa memang tidak begitu nyaman. Campuraduk antara suka dan duka, antara rasa senang dan terasa ada suatu yang hilang. Senangnya, karena kami sekeluarga suka bersilaturahmi, berkunjung ke sanak famili dan teman-teman serta banyak kenalan yang lain.

Namun, kunjungan saya kali ini lain. Ini kunjungan yang dalam bahasa lain tergolong kunjungan kematian. Orang biasa menyebutnya dengan takziah. Saya bertakziah ke Kediri, di sisi lain Allah mewafatkan Bapak A. Karim Assalawi, pada saat saya ketika itu sedang mendengarkan Khatib berkhutbah dalam rangka salat Jum’at di Sradan dalam rangka perjalanan takziah ke Jawa Timur.

Dalam perjalanan yang setengah lebih perjalanan takziah ke Jawa Timur itu, ketika kami sedang sama mendengar khutbah Jum’at, Kiai Karim Assalami wafat, meninggal dunia untuk selama-lamanya. Innaa lillaahi Wa Innaa Ilaihi Rajiuun.

 

Ketua Tharekat dan Ketua FKUB 

Kiai Karim, demikian panggilan akrab beliau, meninggal dunia untuk selama-lamanya. Sebelum wafat, dihadapan pengurus MUI, beliau telah menitipkan wasiat untuk kita. Situasi itu seakan perjumpaan Mantan Ketua MUI Kota Semarang itu untuk selama-lamanya.

Dawuhnya, ketika perjumpaan bersama di rapat terakhir MUI menjelang MUSDA itu, pada akhir rapat disampaikan pesan [terakhir beliau]. “Saya menyampaikan, bahwa saya sudah tidak bersedia lagi menjadi Ketua MUI Kota Semarang. Saya sudah dua periode; sekalipun kepada saya sudah ada yang minta menjadi pengurus lagi, tapi sudah cukup. Pak KH Mustam, saya minta menjadi wakil saya di FKUB di situ juga Pak Ali Imran; Prof Hadziq, saya sudah minta duduk di Petamas bersama Pak Ali Imran,” ujarnya. Nak, “Di MUI saya mohon keikhlasan Prof Erfan Subahar, menggantikan saya, melanjutkan untuk periode berikutnya,” begitu lanjut pernyataan beliau.

Tidak terlalu lama sebetulnya, antara rapat terakhir MUI pra MUSDA itu dengan kefawatan Kiai Karim. Rapat MUSDA itu berlangsung pada 19 Desember 2015. Sedang wafat beliau adalah pada hari Jum’at, tanggal 1 Januari 2015. Jadi itu terjadi pada 20 hari setelah MUSDA MUI, beliau wafat.

Beliau wafat dalam keadaan begitu dicintai oleh para mukminin yang menyintainya. Mekera selain berada di bawah kepemimpinan dalam organisasi tarekat, juga yang ada di bawah organissi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang ada di Kota Semarang ini.

 

Demikianlah bisikan Allah yang agaknya diberikan kepada para hamba-Nya. Ada juga isyarat lain yang muncul, terutama di selesainya acara Munas MUI, ketika itu hati kami terasa mak-dek. Sepertinya ada sesuatu yang diisyaratkan Allah Swt berkenaan dengan hamba yang akan dipundutnya (wa ilaihi turjaun). Saya, mungkin seperti yang pernah melihat sesuatu yang sebelumnya tidak saya lihat. Dan hal serupa pernah saya lihat pada tiga orang, yakni pada alharhumah, wanita di Solo, pada sehari sebelum meninggalnya; seorang alhamarhum, kenalan dekat dosen di Semarang; serta beliau almarhum, di saat setelah Munas MUI Kota dan menjelang. Allah Swt memang Maha Agung, Maha Besar, serta Maha di atas Semua Maha yang lain. Allahu Akbar; Kiai Karim sudah diminta kembali ruhnya untuk selama-lamanya (Erfan Subahar).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *