Hadis Ke-1: Niat dan Ikhlas Dalam Amal Perbuatan
PENGANTAR KAJIAN
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur disampaikan ke hadirat Allah Swt yang berkat rahmat dan pertolongannya, kajian hadis yang masuk di dalam rubrik artikel dalam blog ini dapat dimulai oleh penulisnya pada bulan Ramadhan tahun 1436/2015.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Sang Pemilik Nur, yaitu Muhammad saw, Hamba dan Rasulullah saw, segenap keluarganya dan sahabat-sahabatnya, serta segenap pengikutnya yang setia.
Menyempatkan menulis sejak awal Ramadhan ternyata tidak mudah. Baru pada Puasa Ramadhan tahun 1436/2015 ini, maksud itu dapat terlaksana. Yaitu, mengisi hari demi hari dengan memetik kajian dari studi yang sudah saya tangani selama ini di Fakultas Tarbiyah atau Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan, sejak tahun 1989 yang lalu. Paling tidak, dengan menulisnya, kajian itu dapat membantu sejumlah mahasiswa yang ingin mengaji selama bulan Ramadhan kepada penulis tetapi tidak kesampaian, atau bagi yang lama tidak bertemu gurunya, sajian ini dapat dijadikan pelepas rindu sebab dapat merupakan wahana silaturahmi antara guru murid dalam studi hadis. Dan dalam kesempatan lain, paling tidak dapat membantu mencerna materi-materi hadis yang diberikan, dan sebagai pengisi studi pada kita yang ingin mendalaminya selama satu bulan puasa di tahun 2015 ini.
Sebagai sebuah kajian, materi yang disampaikan dapat berkembang sesuai suasana yang dihadapi dari sehari ke sehari selama bulan puasa sejalan dengan persoalan yang berlangsung dalam kenyataan. Kajian ini dimulai 18 Juni 2015, semoga memudahkan kita dalam memetik isi dan memperoleh faedah bersama.
Setelah menyampaikan pendahuluan ringkas, menukil kutipan hadis dan menerjemahkannya, uraian akan diikuti dengan pembasan yang tak lain dari syarah atau paparan yang penulis petik dari hadis yang dibahas sesuai tema yang disegangi.
****
Pendahuluan
Niat memiliki posisi penting di dalam kehidupan. Dengan niat yang benar, suatu ibadah memiliki bekas pahala bagi pelakunya, dan dengan niat yang tepat juga suatu aktivitas yang tadinya termasuk adat dapat ditingkatkan menjadi ibadat sepanjang persyaratannya dipenuhi, yaitu sesuai dengan ketentuan syara’ dan aktivitasnya disukai oleh Allah Swt jika kita lakukan.
Mengenai niat, pada bagian awal uraian, tidak seluruh hadis niat dikutip di sini. Hadis yang dinukil di bawah ini, diambil dari sabda Nabi saw yang di-takhrij oleh Imam al-Bukhari, yang hadisnya berasal dari riwayat Umar ibn al-Khtattab r.a. berikut ini.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه (اه البخاري
“Dari Umar bin al Khaththab, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu [bergantung] dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang [bergantung] dengan apa yang dia niatkan. Maka sesiapa yang hijrahnya untuk [memperoleh keridhaan] Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya [memperoleh keridhaan] Allah dan Rasul-Nya. Dan sesiapa yang hijrahnya untuk [mendapatkan materi] duniawi atau [mendapatkan] wanita yang dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan apa yang dihij-rahkan.” (H.R. al-Bukhari).
Sabab Nuzul, Pengertian, Cakupan Bahasan
Sabab Nuzul
Hadis ini disabdakan Nabi Muhammad saw, sebab adanya seorang sahabat yang turut hijrah Nabi Muhammad saw (selanjutnya ditulis Nabi saw) dari Mekkah ke Madinah dengan suatu motif. Jika semua peserta hijrah ke Madinah adalah untuk memperoleh ridha Allah dan Rasul-Nya, maka hijrah dari seorang [sahabat] ini adalah untuk dapatnya mengawini seorang sahabat wanita yang bernama Ummu Qais. Ummu Qais ini tidak mau diperistri oleh pria yang mengingininya jika tidak dipenuhi syarat yang diinginkannya, yaitu jika calonnya tidak ikut hijrah ke Madinah.
Kejadian demikian lalu ditanyakan oleh salah seorang sahabat kepada Rasulullah saw (selanjutnya ditulis Rasul saw), yang jawaban singkatnya sebagaimana tertuang jelas dalam hadis yang dinukil di atas.
Pengertian Niat
Secara bahasa, niat berarti al-qashdu yaitu ‘sengaja atau maksud’. Sedang niat secara istilah, menurut ahli fiqih yaitu menyengaja sesuatu kehendak hati untuk melaksanakan sesuatu berbarengan dengan dimulainya pelaksanaan perbuatan. Misalnya ketika mendirikan salat, maka niat salat kita dilakukan di dalam hati bersamaan dengan mengangkat tangan ketika takbirat al-ihram pada permulaan pelaksanaan salat. Dalam praktek, ketika diri sudah siap mendirikan salat; hati sudah menghadap dengan tepat ke arah Baitullah, saat itulah bersama dengan tangan mengangkat dan mengucap Allahu Akbar dalam takbir di hati diperkokoh dengan azam kuat berniat salat menghadap kiblat karena Allah Swt.
Kehendak hati untuk melakukan amal perbuatan itu mesti diarahkan untuk melakukan ketaatan yaitu untuk mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Dari niat yang benar itulah, maka suatu amal perbuatan dapat diterima atau dianugerahi pahala dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan aktivitas amal perbuatan yang diniati dengan benar, yang diiringi dengan ketulusan dalam melak- sanakannya karena Allah, merupakan niat yang diterima dan diberi pahala oleh Allah Swt.
Pengertian A’mal
Kata a’mal yang berarti ‘perbuatan-perbuatan’ dapat diterapkan setidaknya kepada dua hal, yaitu perbuatan anggota lahir dan perbuatan anggota batin. Pertama, yang termasuk perbuatan anggota lahir, misalnya seseorang melakukan salat, atau mengeluarkan zakat, atau melaksanakan ibadah tawaf haji atau umrah, atau membantu orang lain yang kepepet melunasi hutangnya; atau melakukan perbuatan tetap tidak sama dengan yang sebelumnya (tidak berbuat), misalnya hanya diam tidak melakukan perbuatan sesuatu yang dilarang oleh Allah, atau meninggalkan perbuatan yang maksiat. Empat contoh yang pertama ini termasuk dalam pembahasan a’mal dalam hadis ini, sedangkan dua hal berikutnya yang intinya sama dengan tidak berbuat, tidak termasuk yang di alam a’mal yang dibahas di dalam hadis ini.
Kedua, yang termasuk disebut dengan aggota batin, misalnya meyakini adanya malaikat-malaikat Allah, atau mempercayai adanya makhluk Allah berupa iblis dan jin, atau mempercayai dengan sangat yakin adanya makhluk yang terasa tetapi tidak tampak seperti angin. Pada amaliah batin seperti disebut pada bagian yang kedua ini juga tidak termasuk yang dibahas dalam konteks hadis ini.
Pendek kata, bahwa amal perbuatan yang disyari’atkan niat itu adalah perbuatan yang dikerjakan oleh anggota jasmani (lahiriyah) yang dalam melakukannya ada hubungan dengan perilaku taat. Dikecualikan dari ketentuan ini, adalah keadaan tidak berbuat, atau amal perbuatan yang mubah, makruh, serta haram.
Fungsi dan Hakikat Niat
Dalam hubungan dengan amal perbuatan, niat itu memiliki fungsi dan hakikat sebagai berikut ini. Fungsi Niat, yaitu: (1) untuk membedakan antara amal ibadah dengan kebiasaan. Misalnya, seseorang mandi karena agar tubuh segar seperti kebiasaan sehari-hari, atau mandi karena untuk memenuhi perintah Allah bagi orang junub untuk menghilangkan hadats besar. Dari contoh ini, maka orang yang mandi karena kebiasaan adalah seperti yang pertama, sedang yang kedua adalah mandi karena memenuhi perintah Allah yang tentulah berpahala karena termasuk ibadah.
Selanjutnya, (2) fungsi niat adalah untuk membedakan antara amal ibadah yang satu dengan amal ibadah yang lain. Misalnya, seseorang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat melakukan shalat sunnah qabliah subuh, dan lainnya yang melakukan dua rakaat salat subuh. Maka kedua amal tersebut berbeda dalam konteksnya dengan niat.
Hakekat niat dalam beramal
Pada dasarnya, hakikat niat dapat dilihat seperti berikut. Pertama, Niat merupakan bagian dari Iman. Niat merupakan amalan hati. Sedangkan iman adalah diyakini di dalam hati, diucapkan dan dibuktikan dengan anggota badan dan perbuatan. Allah mencatat niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan. Umpamanya, seperti sabda Nabi saw: “Maka sesiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikkan tetapi belum mengamalkannya, maka Allah mencatat bagi orang tersebut di sisi-Nya dengan kebaikkan yang sempurna.” (Muttafaq ‘Alaih).
Kedua, Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya. Setiap muslim wajib mengetahui ilmu sebelum mengamalkannya, apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak.
Ketiga, disyaratkan niat pada amalan-amalan ketaatan. Suatu kebaikkan tidak dikatakan ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Niat membedakan amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Niat membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain, misalnya puasa di bulan syawal. Bisa jadi dia puasa syawal bisa juga dia puasa membayar hutang puasa. Itu semua tergantung dari niat didalam hatinya. Niat juga menentukan tujuan dari sebuah amalan. Apakah perbuatan itu diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah atau mengaharapkan selain dari itu ditentukan oleh niatnya.
Keempat, urgensi ikhlas di dalam beramal. Suatu amal bergantung kepada keikhlasan pelakunya. Mengikhlaskan amalan semata-mata hanya karena Allah merupakan wujud mentauhidkan Allah. Ikhlas bukan hanya berarti tidak menuntut apa-apa dari Allah tetapi merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari penciptaan kita oleh Allah Swt. Dari situ, kita mestilah senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji. Awal mula, sebelum beramal diperhatikan niat kita, kepada siapa dan karena apa kita niatkan amal kita. Selanjutnya, ketika sedang beramal, bisa jadi amalan yang semula ikhlas terganggu disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Berikutnya, ketika setelah beramal tanpa sadar setelah bertahun-tahun kita sembunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan hal itu kita ceritakan jasa kita pada masa yang lalu itu. Akhirnya, baik buruk amaliah bergantung kepada niat pelakunya. Pendek kata, suatu amal kebaikan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan baik atau secara ikhlas, dan menjadi buruk manakala diniatkan dengan tidat tepat.
Hijrah: yang Amaliah dan Duniawiah
Hijrah secara bahasa berarti pindah atau meninggalkan. Sedang secara istilah syariat adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah dengan ikhlas, mengharapkan pahala di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.
Dalam tuntunan agama, hijrah terlihat dalam tiga macam yaitu. Pertama, berpindah dari negara kafir (syirik) kepada negara Islam (tauhid), seperti hijrah para sahabat dari Mekkah ke Madinah. Kedua, berpindah dari negara yang diliputi ketakutan kemaksiatan kepada negara yang aman, seperti hijrah para sahabat dari Mekkah ke Habasyah. Ketiga, meninggalkan negeri bid’ah menuju negeri sunnah, seperti berhijrah atau meninggalkan dari segala apa yang dilarang oleh Allah, sebagaimana hadis yang di-takhrij Imam al-Bukhari melalui riwayat Abu Nu’aim, bahwa muhajir adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad. 1992. Hadis Pegangan. Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah.
al-Bukhari, al-Imam. 1987. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah.
ash-Shiddieqy. 2002. Mutiara Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra.
Al-Naisaburi, Abu Hasan Muslim. 2006. Shahih Muslim. Riyadh: Dar Thayyibah.
Soebahar, Moh. Erfan. 1991. Durratus Sittah fi Masail al-Tarbiyah, Jilid I, Semarang: Triadan Jaya.