Khotbah Jum’at: Merawat Bersama Sikap Hidup Muslim

Pada hari Jum’at ini, mari kita awali khot­bah dengan bersama menyegarkan ingatan: untuk selalu meningkatkan  takwallah. Yakni, dengan menjaga atau merawat diri yang terbaik, dengan da­patnya melaksanakan apa yang diperintah Allah Swt, dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah Swt.
       Dengan selalu merawat dan sekaligus meraih capaian takwallah demi­kian, ma­ka kualitas diri kita sebagai manusia muslim, mantap dengan kondi­si yang prima dalam beriman, yang terus meningkat di hadapan Allah. 
Salah satu dari ajaran Islam yang berkenaan de­ngan merawat takwallah ini, adalah kita memper­man­tap komitmen selaku muslim untuk merawat bersama sikap hidup manusia muslim, yang sudah diajarkan oleh Allah Swt.  

Konsepsi Sikap Muslim
Hadirin Jamaah Jum’at Rahimakumullah,
Dalam rangka memberikan garis-garis kehi­dupan berkenaan dengan sikap hidup muslim, Allah Swt berfirman kepada kita dalam Surah al- Qashash, yang potongan ayatnya sudah sama kita hafal yaitu;

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepa­damu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melu­pakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dari ayat di atas, ada tiga klasifikasi sikap hi­dup muslim, yang Allah Swt tunjukkan kepada kita untuk bersama-sama kita terapkan di dalam kehi­dupan ini, bagi terwujudnya kehidupan yang sega­ris de­ngan hidup mukmin yang takwallah, agar dalam menjalani kehidupan ini dapat mantap, tidak gamang menghadapi pelbagai situasi dan kondisi yang berkembang: tumbuh, menan­jak, me­rosot, yang menan­tang manusia muslim untuk bersikap dalam kehidupan yaitu: (1) bersikap keseimbangan (2) bersikap ihsan (berbuat baik), serta (3) pantang berbuat kerusakan.

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia,

Pertama, Sikap Keseimbangan

Berkenaan dengan sikap keseimbangan; sikap ini mempermudah seseorang untuk mencurahkan fokus diri bagi menjalani kehidupan. Fokus di sini, intinya untuk fokus ke hidup keakhiratan, namun bukan dengan fokus yang tidak tim­pang. Tidak semata hanya menujukan amaliah ke akhirat, dan tidak juga hanya ke arah dunia semata, melainkan sesuai dengan fokus hidup berbekal amal yang produktif di dunia, yang terus disambung dengan kehidupan abadi yang berlanjut nanti di akhirat.

Mengapa demikian? Karena dunia, seperti dibagaimana dijelaskan di ayat lain, adalah ladang bagi semua hamba Allah Swt, untuk ditanami dan dimakmurkan yang buahnya dapat diunduk secara berkelanjutan di dunia sekarang dan di akhirat kalak. Dunia ini adalah untuk kediaman sementara, sifatnya temporer dan fana, yang pada waktunya nanti ia akan hilang atau hancur, tepatnya pada saat berlangsungnya peristiwa hari hari kerusakan yang dikenal dengan Kiamat. Adapun hidup yang abadi adalah di akhirat, masa setelah semua manusia mencicipi kehidupan di dunia lebih dahulu.

Hidup seperti beristirahat
        Dunia yang kita huni sekarang adalah laksana tempat berteduh ketika  isti­rahat di perjalanan. Yang tatkala lelah sudah reda, hilang rasa capek dan sengat­ an panas, maka perjalanan harus dilanjutkan ke tujuan. Namun, sekalipun du­nia itu sementara dan rusak, tetapi dunia adalah ladang yang tidak bisa disia-siakan bagi mendapat pencapaian prestasi demi prestasi yang diminta pertang­gung-jawaban di akhirat. Di sinilah, makna hadis mengena, yaitu bahwa dunia adalah ladang bagi kampung akhirat.

Oleh karena itu, muslim tidak dibolehkan memusatkan pikiran dan usaha hanya semata ke akhirat. Akan tetapi, dia mesti juga mengurus bagiannya dari kehidupan dunia ini, yang di dalamnya ada juga kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan. Islam tidak melarang manusia mencari kekayaan dunia sebanyak-banyaknya, asal meme­nuhi ketentuan Allah. Di dunia ini, keseimbangan kehidupan (evenwicht) antara dunia dengan akhirat tetap harus menjadi keseim­bangan yang dipilih, dijalani, dan dinikmati bagi hidup dunia dan akhirat.

Kedua, Berbuat Ihsan

Sikap kedua adalah berbuat ikhsan; ia mencakup berbagai hal yang berkait- an dengan kelebihan, keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan. Secara garis be­sar ihsan meliputi: ihsan kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada makhluk-makhluk lain.

1-Ihsan terhadap Tuhan

Ia berarti menyembah-Nya,menaati-Nya, men­ja­lankan segala suruhan-Nya, dan menghentikan semua larangan-larangan-Nya. Ihsan terhadap Tuhan ada­lah: satu manifestasi dari kesyukuran, bersyukur atas nikmat dan anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita.

Sebagai pegangan, disebutkan dalam hadis Nabi, bahwa ihsan itu adalah engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat kepada-Nya. Apabila engkau tidak melihat kepada-Nya, maka yakinkan bahwa Dia (Allah) melihat Engkau.

Esensi hadis di sini ialah menyembah Tuhan secara mutlak dan Ikhlas (estu), tanpa memandang keadaan tempat, situasi, kondisi apapun, baik dalam keadaan lapang atau sempit.

2-Ihsan terhadap Sesama Manusia

Dijelaskan di dalam surah An-Nisa: 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

Dari ayat di atas jelas, bahwa prioritas berbuat baik terhadap sesama ialah ditujukan dalam hu­bung­an kepada: ibu bapak (kedua orang tua), kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang mis­kin, tetangga dekat, tetangga jauh (sekampun dan sekitar), teman sepekerjaan, orang-orang musafir, dan hamba sahaya, pembantu, serta pelayan.

3-Ihsan terhadap Makhluk-makhluk Lain

Dimaksud makhluk lain di sini, adalah binatang-binatang dan lingkungan. Kecuali, binatang-binatang yang membahayakan atau merusak, seperti binatang buas, bertaring, menyimpan kuku. Termasuk yang mesti berbuat ihsan adalah pada binatang-binatang yang kita diha­lalkan makan dagingnya, yang harus bersikap baik ketika menyembelihnya, seperti disebutkan ketentuan nya di dalam hadis Nabi saw,.

Ketiga, Pantang Merusak

Selain dua sikap di atas, maka sikap mukmin yang perlu dimiliki adalah sikap pentang merusak, atau berbuat kerusakan. Karena merusak merupakan perbuatan yang benar-benar dilarang oleh Allah. Jadi sikap terakhir adalah jangan merusak; baik dengan menimbulkan kerusahakan/kebinasaan di mk bumi.

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Sesungguhnya sebab-sebab yang menimbulkan ke­ru­sakan di muka bumi ber­macam-macam, yaitu karena

1- Kecurangan. Curang ialah sifat-sifat yang amat buruk, seperti tidak jujur, tidak mene­ pati janji, tidak bisa dipercaya, dan menyia-nyiakan amanah.

2- Kebohongan dan/kemunafikan. Kebohongan atau dusta adalah salah satu dari ciri munafik, sedang kemunafikan adalah keseluruhan dari sifat-sifat nista: bohong, mung­kir, khianat.

3- Kebejatan. Yang dimaksud di sini adalah yang berkait dengan soal moral, kemero- sotan akhlak, dekadensi moral. Ciri terpentingnya adalah hilangnya perasaan malu (haya’). Sudah hilang perasa­an malu ketika melakukan perbuatan mesum atau maksiat di depan umum.

Dari keseluruhan paparan di atas, diharapkan dapat memberi manfaat, terutama bagi meng­antarkan kita di dalam bersikap sebagai muslim, dalam berperilaku bagi peningkatan martabat dalam kehidupan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *