Membaca, Corak Kesiapan Ikhtiar Menghadapi Kehidupan

Kehidupan yang setiap kita sedang menjalaninya sekarang sama untuk melintasi dua alam atau dua negeri. Alam dunia dan alam akhirat, atau negeri dunia dan negeri akhirat; tulisan ini menyukai sebutan dua negeri. Yang diyakini akan berhasil, jika dari sekarang mesti diyakini bahwa jika hidup hanya untuk orientasi dunia ya sempitlah kita karena kemampuan hanya diakhiri dengan berpikir pendek dimana akal tidak digunakan optimal. Sedang jika selain negeri dunia, lalu difikirkan matang untuk juga mengorientasikannya hingga negeri akhirat maka semua hal akan terakumulasi, karena tahu dunia dan menjalaninya hingga negeri dunia ternyata terlalu pendek jika hanya habis-habisan diri ini berpikir sampai di sini.

Dari situ membaca kehidupan lengkap menantang berpikir cerdas hingga tembus ke negeri akhirat. Negeri yang kedua ini, dilihat dari petunjuk manapun ternyata tidak ada yang gratis mereguknya. Karena negeri akhirat itu diperoleh dengan melalui menjalankan kehidupan praktis di dunia yang tak lain dari kehidupan alam ikhtiar, sedang akhirat adalah kehidupan alam jaza’ atau balasan. Jadi seberapa kuat dan ikhlas berusaha di dunia, akan menentukan akan seperti apa hebat kita nanti di akhirat.

 

Dunia, Menguji Kehendak

Hidup di dunia tidak ada yang gratis. Walau pada suatu petunjuk sudah dijelaskan, bahwa manusia ini pada awalnya adalah satu umat dengan ayah Adam dan Ibu Hawa. Lalu dari situ keluarga terbentuk dengan setiap lahir bayi selalu kembar, anak laki dan perempuan, sehingga pada awalnya manusia boleh kawin dengan sesaudara dari kakak beradik lalu diatur sistem silang. Dari awal kehidupan yang selalu ditantang alami rukun, tetapi lalu manusia pertama itu ada yang suka nyelenih memilih berselisih sehingga merepotkan tatanan, karena ada ketidak taatan. Maka di situlah persoalan manusia menghadapi kerumitan pertama. Jika dilalui dengan rukun yang membawa kesatuan dan kekompakan, kesenanganlah yang akan dirasakan. Namun, jika ketidaktaatan dan perselisihan yang dilalui maka ketidakberdayaan dan pertumpahan darah akan dilalui dalam kehidupan.

Hidup ini penuh peluang hebat, tapi perlu kesiapkan menjalaninya. Peluang untuk berhasil, dibuka seluas-luasnya bagi setiap manusia. Akan menjadi seperti apakah seseorang, syaratnya hanya dua: beriman dan menguasai ilmu. Dengan beriman, maka manusia itu tidak cukup dengan menyatakan keimanan, tetapi ia mesti membuktikan keimanannya. Misalkan, dengan keimanan orang ditantang membangun agama pada tiap-tiap individu. Menurut Islam, setiap manusia mesti bersaksi bahwa Tuhan mereka itu Allah sedang Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Persaksian itu mesti diyakini, dan menjadi kerelaan manusia dalam kehidupan. Menyalahinya, dengan Rasul selain Muhammad saw misalnya akan menjadikan masalah dalam keyakinan Islam. Salat, adalah tiang bangunan Islam kedua; yang tidak bisa ditinggalkan, dari situ bangunan salat ini tidak bisa diganti yang lain. Ia mesti dilaksanakan setiap hari menurut kemampuan. Mesti dilakukan manusia sendiri semampunya. Zakat, adalah bangunan ketiga, yang menuntut kita memenuhinya. Bagi setiap individu, disebutlah zakat fitrah setiap tahun sekali; bagi harta kita disebutlah zakat mal. Puasa, bangunan yang benar-benar menantang integritas manusia dalam melaksanakan kewajiban Penciptanya, setiap shaim yang akan bertemu dengan-Nya kelak di akhirat. Haji, wajib menurut kemampuan. Karena dari situ, yang selama ini manusia ditentang bersatu, kompak, yang menyembah Tuhan yang satu, ditunggu realisasinya. Semua orang sedunia ditantang menghadapnya, benar-benar meminta kita berkomitmen atas itu. Bahkan, dalam kondisi medan ibadah tawaf dan salat yang dilalui, di situ dibuka keringanan (rukhshah) yang banyak. Antara lain, muslim beribadah khusyuk bersanding dengan dengan muslimah, tidak dilarang, agar ibadah yang di situ memerlukan kekuatan fisik, psikis, dan mental itu dapat ditunaikan dengan baik.

Dunia ini aslinya satu keluarga, tapi terus diuji. Dari ibadah haji, manusia kembali diuji komitmen: apakah hidup ini akan nafsi-nafsi ataukah mestinya bersatu dan kompak dalam kehidupan. Karena pada dasarnya manusia itu adalah satu keluarga, yang menuntut kondisi selalu bersatu dimanapun. Kompak dalam bersaudara, sedarah ataupun dengan sesama muslim yang bukan atas hibungan bersaudara. Jadi haji kita, itulah sebenarnya keutuhan integritas kita, yang setiap datang waktu salat selalu diingatkan untuk selalu menghadap Allah Swt.

Di dunia ini, sebagai bangsa pun manusia itu diuji. Dari sudut pengalaman haji, lalu kembali ke negeri masing-masing. Kita diingatkan kepada motivasi kita dalam berbangsa. Maklum, kehidupan berbangsa itu tidak jauh dari kewajiban merawat kehidupan yang berhasil. Di dalam diri, kita ditantang dengan komitmen selalu warga negara yang baik, memakmurkan, bekerjasama, dan berhasil. Ke luar, kondisi ini juga perlu difikirkan penjagaan diri seutuhnya. Pengalaman manusia seutuhnya di era kehidupan manusia pertama pernah bersatu utuh dalam keluarga, berbangsa, dan beragama, yang akhirnya pecah tercabik-baik karena perselisihan mestilah menjadi pengalaman yang tidak boleh dilupakan, Karena ada satu yang tidak boleh dilupakan. Satu itu bernama: rekayasa. Rekayasa –yang hanya manusia yang dapat membuatnya– mestilah dijaga tidak boleh menyimpan dari ajaran pokok: Tuhan itu Esa, Nabinya hanyalah yang diutus oleh Allah Swt. Rekayasa itu bisa terjadi dalam agama, juga dalam politik, dalam ekonomi, sehingga yang perlu diwaspadai adalah melesetnya rekayasa itu dari kehendak pengatur dunia ini. Karana rekayasa yang keliru dapat menyimpangkan kehidupan dari hal-hal yang hakiki. Beberapa pembahasan kritis tentang rekayasa dilakukan oleh peneliti yang serius, dan hasilnya terkadang sungguh mencengangkan.

 

Akhirat, Tuhan, dan Tulus

Pintu akhirat adalah amal dan doa. Menjalani kehidupan akhirat kesempurnaannya selain melalui iman dan pembuktian dari imannya dalaman bentuk beramal, menuntut prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar. Prasyarat itu pertama mengenal Tuhan, yang hanya kepada-Nya kita beribadah. Dan beliaulah yang membalas apa-apa yang dilakukan untuk mencapai ridha-Nya. Tidak ada motif lain yang diharapkan menjadi aktivitas kita selain untuk merangkul dan menujukan diri untuk mengharap ridha-Nya. Sebab, Dialah sang pemberi rahmat itu. Bukan makhluk. Bahkan, satu-satunya Rasul yang diberi izin memberi syafaat itu hanya Nabi Muhammad saw. Maka kenal Keesaan Tuhan lalu menyatukan penghambaan diri adalah persyaratan mutlak ketuhanan. Dan juga disyaratkan bahwa arah kecintaan dan kehambaan kita untuk tidak berbagi. Mesti tulus dan hanya untuk Allah Swt semata.

Penentu bahagianya Tuhan. Jadi persyaratan untuk hidup bahagia di negeri akhirat, kita harus melakukannya sekarang, selagi sama hidup di dunia. Yaitu kehidupan dari waktu ke waktu, yang setiap dipanggil (dengan azan) untuk hidup bahagia untuk berziarah secara khusyuk menghadap Tuhannya (mulaqu rabbihim), selalu disambut dengan bersegera salat. Salatnya menghadap kiblat, simbol konsentrasi penghadapan diri yang khusyuk, yang dari sana juga setelahnya kita kembali lagi terjun di dalam kehidupan nyata ini. Begitulah dalam salat wajib lima kali salat kita berhadapan dengan-Nya, dan dalam salat sunnah melalui beberapa kali salat kita dapat kontak langsung dengan-Nya.

Allah, sumber kebahagiaan di akhirat. Jika setiap muslim dapat melakukan salat wajib yang disempurnakan kemudian dengan salat sunnah, sebagai sumber kebahagiaan awal yang menjadikan kita tercegah dari melakukan keburukan dan kemungkaran, yang ternyata menyesatkan kehidupan. Yang melakukannya dianggap ibadah. Maka melakukan amal-amal saleh yang mahdhah atau murni itu dapat disempurnakan dengan melakukan amal-amal ibadah yang lain.

 

Negeri: Ikhtiar dan Balasan

Pada akhirnya, pilihan kesiapan ikhtiar kehidupan terpulang pada kita. Siapa yang sudah menjalankan kehidupan dunia yang tak lain dari alam ikhtiar sepanjang ia memenuhi syarat, maka akan bertemu dengan kebahagiaan. Terutama kebahagiaan abadi di akhirat, yaitu bertemu Tuhan karena kehidupan beramal dengan tulus sudah sama kita lalui. Dari situ, kepasrahan orang ada pada ketaqwaan menghadapnya, mudah mempertemukan dengan realita tertinggi di kehidupan akhirat, selain menikmati kehidupan surga di bawahnya yang juga tidak terhingga kehebatannya.

Diri ini yang memilih dan Tuhan yang mengiyakan. Dari situ, kehidupan ikhtiari di negeri dunia yang membawa kita bertemu dengan surga dan sang Pencipta Surga, sebagai puncak kebahagiaan.

Pilihan yang diyakini benar adalah awal hidup yang menentukan. Maka pilihan yang benar dari kita sekarang akan bertemu dengan nasib kita berhasil dalam hidup, yaitu hidup yang melintasi dua negeri: negeri dunia sebagai negeri ikhtiar dan negeri akhirat sebagai negeri balasan kita (Erfan Subahar).

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *