Merespon Soal Hidup, Meminta Kita Tenang dan Tidak Amarah
Ketika berpuasa Ramadhan 1437/2016, umat Islam Seputar Semarang, kembali dihadapkan dengan fenomena. Ia sepertinya aneh, tetapi sebenarnya film lama yang diputar dengan background baru. Sudah biasa ia terjadi dalam kehidupan ini, ketika kita berinteraksi dengan pihak non-Muslim; yang mestilah diuji di sini keunggulan ingatan. Dan kalau kita tidak membaca sejarah, bisa menjadi memandang dengan terkejut. Akan tetapi, jika biasa menoleh ke sejarah kita berinteraksi, atau berkaca pada sejarah, atau melihat cermin ke interaksi kita di masa lalu, hal itu sebenarnya sudah pernah ada dan terjadi pada masa-masa sebelumnya. Fenomena yang mengemuka dua kejadian yaitu (1) kematian keluarga muslim berketurunan yang berbeda agama, dan (2) tokoh suatu peribadatan non-muslim mengundang tokoh muslim ke arena peribadatan tertentu.
Ibu Muslimah dan Anak Non-Muslim
Fenomena ini sebenarnya bulan persoalan yang baru. Dimana pun bertempat tinggal, jika suatu keluarga menganut suatu agama tertentu lalu berketurunan anak yang berbeda agama dengan yang dianut orang tuanya, maka anak dengan jumlah penganut agama yang lebih kuat atau lebih banyak jumlah atau lebih berpengaruh yang kerap dimenangkan dalam memberlakukan penghormatan terakhir kepada orang tuanya. Terkecuali, jika orang tuanya ketika sebelum meninggal sudah punya komitmen atau wasiat yang diketahui dengan benar oleh pihak-pihak Muslim, maka yang terakhir biasanya dapat diatasi dengan baik dengan cara-cara perlakuan Islam terhadap orang tua yang meninggal.
Misalkan, fenomena yang terjadi di Semarang. Seorang Ibu (sebut saja Sn) yang meninggal beragama Islam, memiliki anak yang nomor duanya atau ke-2 Muslim (sebut saja Trn). Kakaknya, anak pertama atau ke-1 dari keluarga itu (sebut saja Hny) beragama katolik, sementara semua adik yang lain, selain yang ke-2, adalah beragama kristen protestan. Di sini, ada kesimpulan yang sangat mudah menariknya yaitu sang Ibu akan mudah disepakati untuk dikuburkan secara non-Muslim karena seperti itulah kesepakatan suara terbanyak atau yang lebih berpengaruh dari anaknya. Karena akan ada pengkondisian yang lebih mempermudah penangan an oleh anak yang lebih banyak atau lebih berpengaruh.
Bagaimana pada kondisi keluarga di atas ini? Sebuah keterangan dari pihak yang terpercaya menerangkan. Sebenarnya putera ke-2 dari Ibu Sn yang meninggal, yaitu Mas Trn, sampai sekarang masih Muslim. Namun, kakaknya yang pertama (Bu Hny) beragama Katolik, sedangkan semua adiknya adalah beragama Kristen Protestan. Maka dapat dipahami, apabila di dalam mencari solusi akan seperti apa sikap anak yang kedua (Trn ) itu. Ternyata, Pak Trn tidak mempermasalahkan Ibunya dimakamkan secara Kristen, karena adanya kesaksian kakaknya yang beragama Katolik bahwa ‘Ibunya telah dikristenkan oleh seorang Pendeta dan disaksikan oleh adik-adiknya yang semuanya Kristen.
Namun, adakah rasa penyesalan berkenaan dengan persoalan akidah? Pak Trn setelah ditanya sebenarnya ia menyesal, karena ia tidak telaten menjenguk Ibunya. Maklum selama ini posisi Ibunya di Yogya, yang dalam waktu tiga tahun ini dalam kondisi sakit hingga sakit keras. Dalam pada itu, seorang Pendeta sering datang dan menengoknya serta mendekoskannya. Perhatian yang seperti inilah yang membuat Ibu (Muslimah) dari keluarga ini jebol imannya. Meskipun di saat sehat tiga tahun yang lalu dia masih sempat ikut tarekat yang dibina oleh salah seorang wanita yang berdomisili di Bulu, tetapi iman yang sudah jebol, tentu sukar dibendung. Ibu Sn yang semula Muslimah itu meninggalkan 7 anak dan 15 cucu.
Mengundang Muslim ke Rumah Ibadah Non-Muslim
Masih dalam lingkaran interaktif kehidupan umat beragama, pihak non-Muslim bisa saja membuat agenda bagi penganut agama di luar agama yang dianutnya. Bisa dibaca, tokoh Kristiani mengundang tokoh umat Islam.
Untuk contoh yang ini, misalnya pada suatu acara di Semarang, seorang Pemimpin suatu gereja mengundang Ibu Dra. Hj. Shinta Nuria Abdurrahman Wachid, untuk menjadi pembicara di Acara Buka Bersama yang diselenggarakan di Suatu Gereka di Ungaran Semarang. Selain mengundang pembicara, tentu saja pimpinan gereja Katolik itu mengundang umat Islam menyaksikan acara di gereja tersebut.
Dari situ pantas saja, bila ada pro kontra dalam menangani kejajian itu…. masih bisa disempurnakan (Erf).