Mengupas Khitan Dalam Islam (1)
Ceramah Cahaya Imani di RRI Pro-4 Semarang pagi tadi mengupas tentang Khitan. Judulnya “Khitan Dalam Islam” bagian Pertama. Semuanya disampaikan Prof Erfan dalam waktu 35 menit.
Setelah menjelaskan khitan secara bahasa, yang berarti memotong. Dan secara istilah (bagi laki-laki) sebagai memotong kulit tertentu yang menutupi ujung kemaluan (culf) sehingga tidak terhimpun kotoran (najis) di dalamnya, dapat menuntaskan saluran air kencing, serta tidak mengurangi nikmatnya hubungan intensip suami istri (jima’). Maka, guna memperluas wawasan, uraian khitan di bagian pertama ini kita di bawa dalam konteks sejarah.
Khitan dalam Sejarah
Khitan diperintahkan kepada seseorang yang ketika dilahirkan belum terkhitan. Hal demikian, karena di dalam sejarah ada orang-orang yang ketika dilahirkan sudah dalam keadaan terkhitan. Konon Nabi-Nabi seperti, Nadi Adam a.s. (ketika dicipta sebagai manusia pertama), Nabi Nuh a.s., Nabi Hud a.s., Nabi Shalih a.s., Nabi Luth a.s., Nabi Syu’aib a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Sulaiman a.s., Nabi Zakaria a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad s.a.w., ketika lahir ke dunia sudah dalam keadaan terkhitan. Beliau (dan tentu juga lainnya) yang sudah terkhitan tersebut, tidak diperintahkan lagi untuk berkhitan.
Nabi Ibrahim a.s. adalah Rasul Allah Swt yang diperintah berkhitan untuk dirinya. Dan ketika menerima perintah itu beliau sudah dalam keadaan yang sudah sepuh, menurut salah satu riwayat beliau ketika itu berusia 80 tahun. Di zaman itu alat yang digunakan memotongnya adalah kampak.
Beliau adalah termasuk manusia pertama yang diperintah dalam syari’at Allah Swt menerima titah itu dan beliau menunaikannya. Perintah Allah Swt yang ditunaikannya itu, kemudian diabadikan di dalam sejarah, dan disuruh ikuti oleh umat-umat di belakang hari, termasuk umat Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an dalam pada itu menyebutkan dalam Surah An-Nahl,
Tsumma awhainaa Ilaika Anittabi’ Millata Ibraahiima Haniifa wa Maa Kaana Minal Musyrikin.
Maksudnya bahwa kita diperintahkan mengikuti syari’at Nabi Ibrahim a.s., antara lain, syari’at khitan.
Keuntungan Berkhitan
Banyak sebenarnya keuntungan dari berkhitan. Menurut al-Qardhawi dalam Faiqh Thaharah: 172 misalnya disebutkan:
1- mencegah kotoran (najis) dan berkembang biaknya kuman di dalam dzakar;
2- terhindarnya dzakar dari terkena penyakit kelamin seperti sepilis, karena qulf
dzakar mudah mengalami radang dan melecet;
3- dzakar akan kurang resiko penyakit dzakar seperti pembengkakan atau kanker;
4- dapat memaksimalkan kepuasan seks ketika jima’ (hubungan intensip pasutri).