Mengupas Khitan Dalam Islam (2)
Uraian Prof Erfan Soebahar pada Senin, 17 Maret 2014 kali ini, mengupas Khitan Dalam Islam bagian Kedua. Uraian dimulai dengan mengutip ringkas uraian sebelumnya, lalu melanjutkan penegasan pengertian, asal usul katan khitan di Sudan dan Mesir, Praktek Khitan yang Dilarang, dan bagaimana proses khitan yang elegan
Khitan di dalam Islam yang berkembang dalam kehidupan merupakan ajaran yang komunikatif. Syari’atnya disampaikan dengan bijak, seperti mengajarkannya tidak dengan cara mewajibkan sekaligus secara serta merta, melainkan dengan cara arif. Misalnya: ia disyari’atkan melalui suatu contoh praktis dari seperti praktik khitan Nabi Ibrahim a.s. (dan Nabi saw serta banyak nabi lain yang dilahirkan dalam keadaan dirinya sudah terkhitan). Jadi tinggal meniru, bagi generasi yang belum berkhitan yang perlu berkhitan bagi mereka kemudian.
Khitan dari uraian sebelumnya jelas. Secara bahasa, khitan berarti: memotong. Sedang secara istilah, khitan berarti suatu pemotongan pada bagian tertentu alat kelamin laki-laki dan/atau perempuan.
Khitan di sini, asal-usulnya banyak dikenal di negeri Sudan dan juga Mesir. Dan dalam kehidupan, di situ dikenal beberapa praktek khitan; ada yang sesuai dengan Islam tetapi di situ dalam sejarahkan dilakukan secara keliru, seperti yang meniru tradisi khitan yang dilakukan oleh Ramses, Khitan masa Raja Mesir dahulu yang diberi penegasan yang dapat diterima oleh Islam di kalangan orang-orang Madinah masa lalu.
Dalam hubungan dengan ajaran Islam, sudah tentu yang dikehendaki di sini adalah khitan yang mestilah dilakukan dengan benar. Dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang menyehatkan, yang menyelamatkan.
Proses Khitan
Untuk laki-laki, adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala penis sehingga ia tersingkap kesemuanya. Ibarat spidol yang berpenutup, maka khitan adalah seperti meniadakan penutup spidol sehingga spidol itu dapat berfungsi dengan baik dan benar atau fungsional.
Untuk perempuan, seperti disebutkan oleh al-Mawardi; memotong kulit/mengelupasnya yang ada di atas tempat masuknya penis dan bentuknya menyerupahi jengger ayam (Nailul Authar, Juz I: 37).
Khitan perempuan yang dilarang, yaitu:
1- Memotong organ khitan secara berlebihan (La Tunhiky). Seperti penuturan Nabi
saw kepada tukang khitan wanita di Madinah;
2- Memotong bibir vagina (labiya mayora) seperti memotong bibir kelamin,
atau menjahit lubang kemaluan;
3- Memotong klitoris.
Jadi khitan itu, ada hubungan dengan kebersihan dan kesucian. Terutama dalam konteks melakukan kedekatan kepada Allah, yang berkait juga dengan kedekatan dengan lain jenis melalui cara yang dihalalkan dalam Islam.
Khitan Fungsional
Sebenarnya, dilihat secara lebih jauh, khitan itu memiliki fungsi yang jauh ke depan. Yaitu ketika seseorang beragama sudah memasuki pintu gerbang berumah tangga. Ini jelas sunnah Nabi saw. Suatu hubungan jangka panjang, yang menghendaki hubungan yang harus saling menyelamatkan; suami kepada istri, dan istri pun diharapkan mendapatkan kepuasan dan keakraban dengan suaminya secara berkelanjutan. Dari situ, akan memiliki keturunan yang sehat dan suami istri memiliki hubungan intim dan mesra yang berjangka panjang.
Perbuatan Budhu’ adalah Sedekah
Hubungan itu, yang berpahala melakukannya di dalam Islam disebut sebagai aktivitas yang dalam melakukannya diberi balasan sedekah. Nabi saw menyebutkan, wafi Bud’i Ahadikum sodaqah. Artinya, ‘dalam melakukan budhuk (hubungan mesra/intensif suami istri adalah suatu sedekah)’
Dari Abi Dzar, dari Nabi saw, beliau bersabda “Dalam setiap melakukan hubungan bersebadan kalian itu adalah sedekah”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kita bersyahwat dan mendatangi istri kita itu berpahala? Rasul saw menjawab, “Anda bisa melihat jika anda mendatangi pada wanita yang haram itu bukankah itu berdosa, maka demikianlah bila Anda mendatanginya pada wanita yang halal maka di situ jelas ber pahala.”
Dari situ, hadis di atas memperjelas kita. Khitan, dalam jangka panjangnya, berkenaan dengan perbuatan yang mendatangkan pahala dari pasangan suami istri.
Seakan hal bersyahwat itu (sebelum diterangkan Nabi saw) tidak berpahala. Ternyata, di baliknya ada pahala besar, yang nilainya adalah sedekah bagi para pelakunya.
Akhirnya, khitan itu dapat memiliki fungsi ganda. Selain sunnah bagi yang menjalankan ibadah itu dengan benar, ternyata ia juga berfungsi dalam kehidupan berkeluarga pasutri, yaitu sebagaimana orang melakukan sedekah; berpahala bagi pelakunya. Fungsi yang terakhir inilah yang dilupakan oleh banyak uraian, padahal yang ini punya kenikmatan (yang sukar diungkap dengan kata-kata) (Erf, 17-3-2014).