Penting: Menimbang Kesederhanaan Dalam Prosesi Pernikahan (1)
Menikahkan anak-anak ataupun cucu-cucu atau keturunan adalah kegiatan yang mulia. Dimana pun orang berada, di kalangan orang yang beragama menganggap bahwa aktivitas ini adalah manusiawi dan semua menginginkan untuk melakukannya. Maka ketika melakukannya mestilah dilakukan dengan cara-cara yang sejak awal hingga akhir kehidupan, perlu tetap diperhitungkan hal-hal yang berdampak mulia. Bukan yang berdampak buruk yang tidak diinginkan seperti hidup keputang-putang tak berkesudahan. Bahkan, ada yang dibawa ke alam kubur hingga di beberapa keturunan. Na’udzu Billah. Apa ada yang seperti ini? Dapat saja kita simak sendiri.
Melihat Orang Menantu di Kanan Kiri
Di Tanah Air tercinta, orang menangani aktivitas menantu terutama menikahkan anak dengan berbagai acara. Acaranya ada yang berlangsung sederhana, seperlunya. Ada lagi yang tidak mau sederhana, tetapi ingin memikirkan kesenangan anak, apapun yang akan dilakukannya nanti sehingga yang dilihatnya senang jika yang dilakukannya lebih baik dari yang ada di lingkungan keluarga di kanan kirinya. Namun, ada lagi yang maunya mewah. Yang penting jalan. Soal dari mana biaya yang penting jalan dulu, soal nanti ya nanti. Itu soal lain. Tidak perlu dipikirkan jauh-jauh ke jangkan panjang. Karena menyulitkan. Dan tentu masih ada lagi yang diluar ketiga model ini, yang terkadang jauh dari pikiran orang kebanyakan, sehingga pernikahan menyedot biaya bermilyar-milyar. Untuk Apa? Dijawab … sudahlah …
Corak Pernikahan Sederhana Nabi saw
Banyak model yang dapat dilihat dari jenis-jenis pernikahan keluarga. Dari model yang sederhana, agak mewah, mewah sekali, hingga benar-benar mewah yang sampai memakan waktu berhari-hari. Bahkan di tempat lain ada yang bersambung-sambung waktunya dari satu tempat ke tempat yang lain. Jika ditanya, untuk apa sebenarnya menikahkan anak atau keturunan kita atau keluarga itu sehingga harus bermewah-mewahan? Jawabannya juga tentu berbeda.
Namun, adakah sebenarnya tuntunan suci yang sebenarnya dapat membuat kita tidak mesti dibuat pusing akan tetapi sudah memadai jika dilaksanakan secara sederhana? Tentu saja ada. Dari sudut pandang fikih Islam, pernikahan itu yang terpenting memenuhi syarat dan rukun.
Syarat sah nikah: 1-Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan; 2-Calon mempelai laki-laki bukan mahram bagi calon istri; 3-Ada wali akad nikah sang perempuan adalah ayah dari sang perempuan itu; 4-Ada dua saksi (yang sudah baligh, berakal, tidak fasik); 5-Ada maskawin atau mahar; dan 6-Ijab qabul.
Sedang rukun sah nikah adalah: 1-mempelai laki-laki dan wanita beragama Islam; 2-Pihak laki-laki bukan mahram bagi calon istri; 3-wali akad nikah dari perempuan. Jika tidak punya ayah (karena hal-hal yang dibolehkan syarak) maka bisa diwakilkan oleh wali Hakim. 4-Tidak sedang melaksanakan ihram. 5-Pernikahan dilaksanakan tidak atas dasar paksaan.
Sebuah model pernikahan sederhana, pernah dilaksanakan dalam pernikahan Nabi saw dengan Siti Aisyah. Konon, hanya ada 9 atau 11 orang yang terlibat dalam prosesi pernikahannya itu. Kisahnya menyusul Insya Allah. (bersambung ….)
Adakah Cara Menikahkan yang Meringankan
Dari model pernikahan yang dijelaskan di atas, maka bisa diambil pemahaman. Bahwa yang sangat dipentingnya dalam berlangsungnya pernikahan adalah bahwa prosesi itu memenuhi ketentuan yang dapat membawanya pernikahan itu sah dilakukan. Yang demikian itu, bahwa nikah itu harus memenuhi syarat dan rukunnya. Karena itu yang membuat pernikahan itu bisa menjadikan kedua mempelai mengikatkan diri secara berkelanjutan di dalam jalinan hubungan suami istri selama-lamanya di dalam kehidupan. Itu saja sudah memenuhi syarat yang diberi pahala melakukannya.
Soal akan diselamati seperti apa. Itu adalah acara pelengkapnya, yang menjadi pelengkap lanjut jika saja dikehendaki oleh keluarga dan mempelai yang melakukan pernikahan. Jika saja hanya berupa akad nikah, maka itu saja sudah memenuhi syarat bagi sahnya suatu pernikahan di dalam keluarga.