Sakit: Wahana Pencerahan Diri
Sakit dapat memiliki banyak arti. Itu tergantung pada siapa yang siap mengartikannya. Dokter, orang umum, dosen agama, dan sufi bisa mengartikan berbeda-beda berdasarkan sudut pandang masing-masing. Jika orang umum melihat sakit sebagai tidak berfungsi optimalnya fisik karena adanya satu atau beberapa organ tubuh yang tidak berfungsi secara optimal, yang imbang dengan pendapat dokter, dosen agama dan juga sufi bisa mengartikan lain.
Yang terakhir ini mengartikan sakit bisa dengan makna suatu wahana pencerah diri. Mereka melihat sakit tidak sekadar dari segi tidak optimalnya organ tubuh melaksanakan fungsinya, melainkan juga dari sisi rohani yang dapat mengantar orang itu sakit. Di antara penyebabnya itu adalah karena seseorang itu, memiliki kekurangan pendekatan kepada sang Penciptanya. Badan dan pikirannya bisa saja sejauh ini terlalu jauh berfokus perhatian yang menjurus kepada hal-hal yang konsumtip; hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan berjangka pendek. Padahal, orang yang imannya terpelihara baik, berhubungan dengan intensip kepada Sang Pencipta, yang terus dibina dengan intensip merupakan usaha yang sangat menenangkannya. Membawanya gembira, dengan kejernihan berpikirnya dan kebeningan hatinya, menuju Penciptanya, yang memang tidak ada duanya. Allah dan Nabinya, adalah buah kecintaannya. Sedang pangkat dan gemerlapan dunia, kemasyhuran diri, adalah bentuk-bentuk tampilan yang dijaganya dengan sangat hati-hati. Maka sakit di waktu-waktu tertentu dapat menjadi penyejuk rohani bagi pencerahan diri.
Lebih-lebih bagi orang yang ketika sakit tidak kosong dari pegangan. Catatan notes- notes kecil, tulisan data HP Blackberry yang bisa ditulis ribuan halaman, termasuk di antara bahan yang bisa menjadi penghibur diri menuju Tuhannya. Kerap orang-orang tertentu di dunia ini, di saat beliau sakit, melihat apa-apa yang sudah dimiliki. Mereka berhenti sejenak, setidaknya di masa sakit, mengejar ilmu, rezeki, karier. Diganti dengan melihat apa-apa yang telah diberikan oleh Allah kepada dirinya sejauh ini, yang bisa jadi belum sempat disyukuri.
Bayangkan kalau sehari sebelum itu dianugerahi satu demi satu secara berterusan, maka dalam setahun sudah 365 nikmat yang dianugerahkan Allah. Bisa jadi di sini, sebagian atau mungkin ada yang terlupakan: tapi banyak, tidak sempat disyukuri dengan baik. Bisa jadi, ungkapan al-hamdulillah saja sudah lupa terucap melalui lisan. Apalagi yang namanya sujud syukur, sudah tertutupi ambisi: mengejar karier, mengejar uang yang begitu banyak didapatnya kepingin yang lebih lagi. Tambah istri, tambah pasangan banyak, ganti mobil, dan macam-macam. Allah dan Rasul, yang mestinya kita istimewakan, kita tutup-tutupi dengan “kemunafikan” diri, padahal Allah tidak pernah tidur. Allah sangat sibuk menyauti doa-doa hambanya. Juga masih mengingati kita yang biasanya berbuat yang terbaik dalam mengabdi-Nya, namun sejauh ini diam-diam karena sudah terkenal, mulai menjauhinya. Cinta kepada-Nya, diam-diam berupa kepura-puraan, hingga nyaris sangat tipis, dan terus menipis. Sementara tubuh sudah capek dengan perilaku yang mulai menjauhkan dari Allah.
Rokh kita menjadi kontras dengan yang kita lakukan. Semangat keislaman yang dulu sudah begitu mendalam dalam diri, bertentangan dengan apa yang sejauh ini kita lakukan. Antara ikhtiar jasmaniah yang dilakukan, dengan salat yang sudah mulai pas- pasan, sudah mulai mengeroposkan diri, sehingga diri sudah mulai sakit-sakitan. Pada ketika diri demikian, turun ujian Allah Swt. Diri ini disakitkan, fisik terasa loyo. Badan tidak memberi layanan maksimal lagi kepada pemiliknya.
Pada saat demikian, tinggal kita yang akan memberikan pemaknaannya. Sakit itu akan dianggap siksaan, atau justru sebaliknya bahwa sakit adalah wahana untuk terjadinya pencerahan. Dalam hal ini, jalan melihat diari kita yang sudah sempat terisi. Catatan HP yang sehari-hari berisi rekaman pengalaman, atau juga notes kecil yang sempat dipenuhi dengan beragam catatan berharga, memilki waktu untuk dibaca dan dijadikan renungan.
Dengan sambil beristighfar, dan membaca salawat, serta terus mengucap Alhamdulillah, sakit kita sebenarnya telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada kita untuk pencerahan diri kita. Dan hal itu sekaligus juga mengingatkan kepada diri kita, akan makna bahagia yang sejauh ini kita cari. Bahwa orang yang selalu merasa haus, kebanyakan karena mereka terus habis-habisan mencari, yang kalau sudah kuasa sering lupa diri. Sikap yang tepat, bahwa orang yang tidak merasa bahagia bukan karena kurangnya pemberian Tuhan kepada kita, melainkan karena kita kurang bersyukur apa apa yang sejauh ini sudah kita miliki. Periksalah lagi jantung kita, aliran darah kita, kedipan mata kita, sudah berhentikan Allah memberikan rahmat itu kepada kita, walaupun kita saat ini sudah banyak melupakannya.
Terus… masih lupa jabatan yang dulu pernah disandang. Sudah lupakah bahwa kita, diam-diam kini bisa jadi sudah tidak seperti sepuluh dua puluh tahun lalu. Sudah lupa kah kita bahwa sesungguhnya cucu itu juga bagian dari rezeki Allah, dan sekaligus juga amanah bagi kita. Lalu, ….. lupakah bahwa anugerah sakit, juga bisa menjadi rezeki … bagi perbaikan pencerahan kita. Insaf akan makna sakit bisa menjadi pencerah bagi seseorang, yang mendatangkan kesyukuran, jauh dari menjerumuskan. Istaghfiru Rabbana, Innahu Kaana Ghaffara; Allahu A’lam (Erfan Soebahar).
The ability to break down tough concepts is as impressive as a magician’s trick. Color me amazed.
Glad I stumbled upon this article. It’s like finding a $20 bill in a pair of old jeans.
The article was a delightful read. It’s clear you’re passionate about what you do, and it shows.
The posts are like a secret garden of knowledge. I’m always excited to see what’s blooming.