Sehat, Sakit dan Persiapan Akhirat
Badan sehat merupakan nikmat Allah. Bahkan disebut, bahwa nikmat Allah yang tidak terhingga setelah iman dan Islam adalah sehat. Nikmat sehat ini jika belum diuji, sering belum terasakan. Tetapi, tatkala seseorang diuji dengan sakit, lebih-lebih yang sakitnya parah yang diiringi rasa nyeri yang benar-benar terasa di tubuh, baru terasakan nikmat sehat itu. Namun, baik dalam keadaan sehat ataupun sakit, manusia tidak pernah akan lepas kaitan dengan hari esok yang akan dihuninya yaitu negeri akhirat.
Maka dalam keadaan sehat atau pun sakit, orang yang sadar tetap ingat akan tujuan, yaitu dirinya tetap menujukan seluruh hidupnya kepada Allah. Allah adalah tujuan hidup kita, dan kepada Allah jua ridha kita mohonkan, yang menyiapkan kehidupan akhirat.
Tatkala kita sedang sehat, banyak hal dapat kita buat. Bekerja keras untuk meraih cita-cita tidak ada penghalangnya. Bekerja delapan jam bisa lancar dilakukan karena badan kita sedang sehat. Bahkan bisa saja, kita bekerja di atas delapan jam jika di antara waktu ke waktu diselingi dengan jedah istirahat untuk memulihkan kembali badan kita dalam kebugaran sehingga dapatlah terus bekerja. Bisa saja kita juga bekerja, sepertinya tidak perlu diberi batas-batas jam. Padahal, bekerja tanpa batas tidaklah baik bagi kesihatan tubuh kita.
Jika kita masih berusia muda, taruhlah sampai usia-kepala-empat, empat puluhan, tenaga ini masih gesit bekerja. Energi masih cukup, sehingga dari diri ini terucap, “kemampuan manusia itu nyaris ‘tidak’ mengenal batas”.
Sehat dan Rasa Sakit
Benarkah manusia tidak mengenal batas? Beberapa tahun setelah keadaannya berjalan, ungkapan itu bertemu kenyataan. Misalnya, sejak usia kepala lima, 50-an, ternyata fisik ini sudah mulai berkurang. Kemeretek tulang lutut sudah memberi sinyal-sinyal. Mata sedikit-sedikit sudah mulai berkurang ketajamannya. Kalau dulunya menatap apapun dapat dengan tatapan tajam, ketika sekarang sudah berangsur angsur blaur. Sedikit-sedikit sudah mulai terasa harus rutin periksa mata kepada dokter. Daya ingat juga mulai menampakkan lain. Kalau dulu menghafalkan nama dengan bantuan beberapa cara mengingat, sangat fantastis. Maka sekarang, menghafal nama sudah mulai berkurang daya rekamnya. Terkadang antara satu huruf dengan yang lain tumpang tindih, berakhir b terucap p; f ataukah p; dst sehingga mulai dikenalilah dimana kini kekurangan kita.
Jika di masa muda berkekuatan yang tidak pernah sakit, sehingga terasa kurang syukur nya kita. Karena banyak hal bisa dikerjakan dalam keperkasaan diri. Namun, begitu badan sudah pernah sakit sedang fisik masih harus terus bekerja, maka kadang mulai diingatkan oleh Tuhan dengan ujian sakit. Dengan sakit mereka tahu rasanya bagaimana rasanya sakit itu. Sejak nyeri persendian, kepala tiba-tiba kepala pening nyeng; tulang terasa seperti dipukul dengan palu; urat kita terasa nyet-nyet yang nyetrum dari tempat sakitnya urat ke sekujur tubuh. Belum lagi perut kita. Perut mulai nyeri terkena maag karena sering terlambat makan. Juga asam lambung yang telah berkali-kali diobati tapi tidak juga sembuh-sembuh.
Tentu akan lebih terasa lagi sakitnya jika sudah menyentuh fisik jantung dengan sakit jantung, karena ketika duduk bekerja memakan waktu berjam-jam tanpa mau berdiri sekali-sekali untuk rehat. Atau sudah mengena paru-paru yang berlobang, karena banyak hal termasuk merokok sudah tidak terkendali dengan baik. Atau sudah mengena ginjal kita, karena ketika bekerja terlalu sering lupa minum yang cukup.
Sakit dan Kesembuhan
Dan banyak jenis penyakit lain seperti sakit kulit karena sering lupa mandi sebab bekerja tanpa batas. Maka sakit sudah mulai diderita. Di sinilah, sakit sudah mulai terasa, yang bagi orang yang tahu makna bersyukur masih bisa insyaf. Bahwa sakit yang dideritanya merupakan cara Allah mengingatkan hambanya, untuk beristighfar bahwa diketika diberi kesihatan ia tidak sempat menyukuri nikmat Allah Swt berupa sehat itu.
Mulailah tergambar di benak betapa anugerah Allah Swt yang namanya nikmat sehat itu. Selama dirinya sakit, selalu berdzikir dengan memperbanyak istighfar. Untung diingatkan Allah Swt dengan diberi sakit. Agar untuk selanjutnya dirinya tidak lalai, bahwa dalam keadaan sehat pun manusia tetap harus ingat keterbatasannya, betapa penting juga menyiapkan diri dengan berhati-hati dalam merawat diri.
Akhirnya dia menjagalah keseimbangan, antara menikmati masa sehat, dengan terus menjaga diri agar badan terus sehat, sehingga tidak sering sakit. Atau menjaga badan, agar kalau sakit pun seminimal mungkin, dia selalu berolah raga atau senam yang memadai ketika diri ini sehat. Walau 5-10 menit, pagi sore, badan ini menyempatkan diri senam, agar selalu bugar dalam menyambut tugas-tugas harian; yang wajib, yang sunnah, dan yang mubah.
Dengan sadar diri akan anugerah Allah, maka kesempuhan yang diberikan oleh Allah atas sakit kita menjadikan hidup ini penuh syukur. Alhamdulillah, otak bisa lancar bekerja ketika badan ini sehat. Kaki ini terasa lincah berjalan dalam kondisi jalan datar, atau naik, atau turun, ketika diri ini sedang sehat. Jelasnya, sangat terasakan nikmatnya anugerah kesembuhan bagi orang yang sudah pernah menderita sakit.
Hidup Menuju Akhirat
Hidup ini memang tidak hanya terjadi sekali. Di dunia ini saja, tanda-tanda hidup tidak sekali itu sudah diperlihatkan kepada kita. Bahwa sadar atau tidak sadar, manusia mesti pernah dimatikan sementara, lalu dibangkitkan kembali, dengan tidur dan bangun tidur. Kadang tidak hanya pada saat malam. Bagi yang dalam sehari semalam tidur dua kali, semakin jelas keadaan itu.
Pada saat dimatikan “sementara”, alias tidur lalu bangun, manusia mestinya sadar, bahwa pada saat tidur, dirinya diajak ketawa atau berbicara sedikit pun dia tidak bisa membalas. Senyum saja sekalipun, ketika seseorang yang ada di sampingnya mengajak senyum, hal itu tidak pernah bisa terjawab. Betapa sesungguhnya baru saja pada saat tidur, di saat demikian manusia itu benar-benar sudah seperti benar-benar mmeninggal; hanya saja belum tercabut nyata nyawanya ketika itu. Lalu dia dibangunkan kembali dari tidurnya oleh Allah Swt. Yang begini ini khan sama dengan dia hidup untuk kemudian memasuki kehidupan di alam akhirat.
Hal di atas dapat dibandingkan dengan kondisi manusia, di saat nanti dibangkitkan kembali untuk kesemuanya berkumpul di padang makhsyar. Bisa jadi pada sebagian orang yang tidak beragama, tidak akan bisa membayangkan di waktu sekarang kejadian itu. Jika mampu membayangkannya, hal itu lain tidak mirip dengan kehidupan menuju keabadian di alam akhirat.
Akhirnya, benarlah suatu ungkapan, “Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa Rabbah.” Siapa yang mengetahui atau mengenal dengan benar peristiwa perjalanan hidup dirinya dalam alam raya ini, maka dia akan mengenal juga (kehebatan) Penciptanya.” Pendek kata, bahwa hidup ini baik dalam keadaan sehat maupun sakit, tetap saja akan menuju ke titik akhir yaitu menuju akhirat. Suatu kehidupan di tahap kedua, yang disediakan oleh Allah Swt, sesudah melalui kesempatan meninggal di dunia ini. (Erfan Subahar, 27-9-2013).