Tahqiq; Garapan yang Terlewatkan
Tahqiq merupakan nama bagi suatu aktivitas bagi karya-karya tulisan tangan untuk dilestarikan. Karya tulisan tangan itu bisa ditulis siapa saja. Penulisnya bisa orang alim, orang wali, orang khas di bidangnya, bisa saja orang biasa-biasa, namun yang diper-kirakan memiliki kelebihan. Terutama bagi karya-karyanya yang dihasilkan melalui tulisan tangan. Baik ia yang ditulis menggunakan bolpoin, atau tinta, atau pensil. Bisa saja yang menulisnya itu orang yang berlevel internasional, atau nasional, atau pun tokoh lokal.
Di Indonesia, karya jenis ini tentu cukup banyak. Karena sejak masuknya Islam, tokoh-tokoh yang tertarik berdakwah melalui tulisan jelas tidak sedikit. Para lulusan pesantren saja misalnya, rata-rata sudah kuat membaca dan juga pernah menulis. Seberapapun mereka menulis. Yang jelas, menulis dengan tangan adalah paling mudah.
Dari sudut tempat, Indonesia memiliki banyak pulau. Lima pulau besernya adalah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya. Ini untuk menyebut yang besar-besar. Belum pulau kecil yang didiami, yang hingga sekarang berjumlah 17.000-an pulau.
Tulisan kitab, atau buku, atau kertas kosong apapun sejak dulu banyak ditulis orang. Dari karya itu, ada yang berjudul, ada juga yang tidak berjudul. Tahqiq, adalah wahana pelestarian dari karya-karya semacam itu agar tidak rusak atau hilang ditelan zaman. Kebijakan lokal, dengan begitu, banyak yang dapat diselamatkan. Karena tidak semua daerah mengetahui pekerjaan ini. Di Semarang, sebut misalnya kampus IAIN Walisongo, belum banyak menyentuh aktivitas mulia ini. Kapan kita akan mulai pekerjaan bagus ini?
Dengan telah melaksanakan Pelatihan Ketrampilan Menulis Bahasa Arab, oleh Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, menulis tahqiq akan sudah dilakukan. Kita tinggal menyambut gagasan menarik dari pelatihan untuk mulai tergugah mentahqiq.
Pasca Agustus 2013, pekerjaan mulia ini bisa kita mulai. Jika selama ini, karya-karya maudhu’i atau topikal sudah kita banyak kita buat. Tentu setelah itu, bisa kita susuli dengan karya-karya tahqiq. Sudah waktunya, karya-karya tahqiq menjadi bagian dari konsentrasi kita: sebelum banyak karya kebijakan lokal itu punah atau hilang. Bagaimana menurut pembaca? (Erfan Soebahar).