Tradisi Lebaran dan Halal Bihalal Ditinjau dari Sudut Agama (2)
Sehubungan dengan itu, K.H. Abdul Wahab Chasbullah mengusulkan istilah penganti silaturahmi, yaitu Halal bi Halal. Usulan nama itu pun, sebelum disetujui sempat dipertanyakan Presiden, ”Mengapa memilih nama Halal bi Halal?”
Kiai Abdul Wahab menjelaskan, “Halal bi Halal ini dilakukan sebagai pengganti nama Sila turahmi. Karena para pemimpin di kala itu tidak ada yang ingin mengakui kesalahan satu sama lain. Padahal salah itu adalah haram, sedang yang benar adalah halal, sehingga menghalalkan apa-apa yang haram dengan satu kegiatan yang jelas halal.
Maka sejak itu disetujui oleh Presiden bahwa pertemuan itu akan diberi nama yang diusulkan oleh KH Abdul Wahab dengan Halal bi Halal. Dari telaah di atas, maka usul penamaan Halal Bihalal dilihat dari sudut waktu adalah pada pertengahan Ramadhan 1367/sekitar 23 Juli 1948.[3] Sedang pelaksanaannya di Istana Negara adalah di bulan syawal 1367 H/Agustus 1948 M, dengan agenda utama bersilaturahmi dan bermaaf-maafan yang di Istana Negara Jakarta.
Tinjauan Halal Agama
Dalam khasanah hukum Islam (fiqih), berlaku ketentuan (kaidah): hukum asal dalam persoalan ibadah ritual (mahdhah) adalah bahwa semua ibadah adalah haram (dilakukan) sampai ada dalil yang menghalalkannya. Sedangkan dalam masalah ibadah muamalah (ghair-mahdhah), segala perilaku yang berdimensi sosial adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Islam mengklasifikasi perbuatan manusia menjadi dua bentuk, yaitu ibadah murni dan muamalah. Maka semua yang berkaitan dengan perkara dunia (muamalah) nabi memberi kebebasan dalam mengekspresikannya sebagaimana hadisnya: “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” (HR. Muslim).
Tapi kalau dalam urusan agama nabi sangat membatasi bahkan tidak memberi ruang kepada manusia untuk bebas berekspresi sebagaimana sabdanya: “Dan jika yang berkaitan dengan agama kalian,maka kembalikanlah kepadaku” (HR. Muslim). Dalam hadits lain nabi mengatakan: “Sesia yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka perbuatan itu tertolak” (Mutaffaq’Alaih)
Pada halal bihalal, sebenarnya persoalannya tidak hanya berkenaan dengan perlunya penyelesaian acara formal kenegaraan yang dilaksanakan setahun sekali. Namun, sebenarnya ada hal penting di atasnya yang layak diperhatikan bersama. Yaitu, memikirkan nasib bangsa bagaimana dalam kehidupan dunia ini suatu bangsa dijauhkan oleh Tuhan dari nasib hina. Untuk itu Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imran ayat 12:
ضربت عليهم الذلة اينما تقفوا الا بحبل من الله وحبل من الناس
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (Q.S. Ali Imran: 112)
Ayat di atas menunjukkan kepada kita bagaimana cara agar dalam kehidupan berbangsa kita dijauhkan dari nasib menjadi bangsa yang hina; bagaimana agar bernasib mulia. Maka menurut ayat di atas, jalan yang mesti ditempuh adalah (1) berpegang dengan tali Allah atau menjalin hubungan secara vertikal, dan (2) berpegang dengan tali dengan sesama manusia. Maksud di sini diadakan perlindungan dalam konteks dua jalur yaitu perlindungan Allah dan pertindungan yang diberikan pemerintah. Jadi pemerintah mengambil prakarsa-prakarsa baik agar masyarakat jauh dari kehinaan, kerendahan, dan kemurkaan Allah.
Acara silaturahmi lebaran atau halal bihalal sesungguhnya adalah kegiatan silaturahmi yang tergolong perkara muamalah, yang mengatur hubungan pribadi manusia, meski pelaksanaannya dikaitkan dengan hari raya Idul Fitri. Jadi secara hukum Islam halal bihalal dihalalkan karena tidak ada dalil yang melarangnya. Bahkan ia mengandung banyak hikmah sehingga mempunyai nilai kebaikan atau berpahala bila dilaksanakan.
Dalam acara silaturahmi lebaran atau halal bihalal dilaksanakan beberapa kegiatan yang mempunyai hikmah seperti: saling bermaaf maafan, bersilaturahmi, dan ceramah agama.
Pertama, bermaaf-maafan merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk berbuat salah sebagaimana sabda Nabi SAW: “Allah telah meletakkan dari umat ini tiga hal, yaitu kesalahan, lupa, dan perkara yang mereka tidak suka” (HR. Ibnu Majah).
Dan jika kesalahan itu dilakukan sesama manusia, maka seorang mu’min tidak cukup hanya dengan meminta ampun kepada Allah, melainkan dia harus meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang terzhalimi oleh perbuatannya.
Rasulullah saw bersabda: “Sesiapa yang melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari)
Maka dari keterangan diatas jelaslah bahwa maaf atau memaafkan merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebaiknya meminta maaf dilakukan segera setelah melakukan kesalahan, namun apabila kesalahan itu tidak disadari oleh pelakunya maka tentu hal ini bisa dilakukan pada momentum yg tepat.
Kedua, berjabat tangan adalah sunnah Nabi saw. Berjabat tangan pernah dikategorikan sebagai bid’ah, sehingga dipertanyakan oleh ulama. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan Dari Qatadah; dia berkata, aku bertanya kepada Anas bin Malik, Apakah berjabat tangan pernah terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW? Anas menjawab, “Iya” (HR. al-Bukhari).
Imam Abu Muhammad bin ‘Abdus Salam menyebutkan, Bid’ah itu ada lima macam, yaitu wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Ibnu Bathal mengatakan: “Bersalaman itu baik menurut keumuman para ulama dan sungguh Malik telah menyunnahkan bersalaman itu setelah dia memakruhkannya.
Berkata Imam An-Nawawi: Bersalaman itu sunnah yang disepakati atasnya ketika bertemu. Bahkan, berjabat tangan juga dapat menghapuskan dosa dan kesalahan, sebagaimana sabda Rasul saw: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah.” (HR. Abu Dawud)
Dari penjelasan di atas dengan demikian jelas bahwa berjabat tangan merupakan amalan sahabat, dan merupakan sunnah yang dilakukan Nabi saw ketika bertemu dengan sahabat-sahabatnya.
Ketiga, menyambung bersilaturahmi. Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah hanya dilakukan bagi orang yang menjalin kembali jalinan atau hubungan kekerabatan yang sudah terputus. Akan tetapi, bahwa menyambung silaturahmi ialah menyambung hubungan yang sudah terjalin sedemikian rupa sehingga jalinan dapat berlangsung dengan baik dan lestari. Sehubungan dengan itu Allah Swt memerintahkan kita untuk memelihara silaturahmi ini dengan berfirman. “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa`:1)
Sebenarnya banyak manfaat utama dari bersilaturahmi ini, yaitu:
(1) silaturahmi menjadi salah satu faktor penyebab seseorang masuk surga. Nabi saw bersabda: “Jika engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi, pastilah engkau masuk surga” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
(2) silaturahmi merupakan faktor yang menjadi penyebab umur panjang, dan
(3) silaturahmi merupakan faktor yang bagi memperoleh rezeki yang lapang. Nabi saw bersabda: “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahmi” (H.R. al-Bukari dan Muslim dari Anas bin Malik).
Keempat, ceramah agama. Kegiatan ini tidak akan ditelaah lebih lanjut dalam kajian ini, karena telah begitu jelas manfaatnya. Bagi semua muslim, nasehat, ajakan, dan informasi mengarah kepada ketakwaan adalah pengkaya pribadi kita dalam kehidupan rohaniah.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapatlah ditegaskan bahwa silaturahmi lebaran atau halal bihalal adalah budaya yang berisi silaturahmi dan saling memaafkan yang biasa dilengkapi dengan mendengar ceramah agama, sehingga dilihat dari sudut agama ia memiliki kaitan yang jelas dengan bidang-bidang kemaslahatan hidup manusia yang tepat untuk dilestarkan dalam hidup kenegaraan.
Aktivitas yang menjadi bagian dan milik bangsa ini pada gilirannya dapat juga dimiliki oleh umat atau bangsa lain. Karena budaya yang memiliki tempat dalam ajaran agama ini memiliki daya perekat jalinan hubungan vertikal dan horizontal yang memberdayakan, sehingga dapat mengangkat nasib anak bangsa menjadi manusia-manusia yang bernasib tidak hina. Keberadaan yang memuliakan dan meninggikan martabat, adalah nilai lebih yang akan mengantarkan budaya ini naik menjadi bagian dari budaya global insya Allah. (Erfan Subahar)