Tradisi Tilik Bayi Versi Kudus yang Berbaur di Semarang

Yang namanya jodoh dapat saja dikisahkan dengan berbagai sudut pandang. Salah satunya bahwa jodoh adalah takdir yang maha kuasa kepada kita. Dari cara pandang yang satu ini dapat dipahami bila ada orang yang perlu mudik ratusan kelometer karena dia memilih pasangan yang jauh dari tempat tinggalnya. Sementara yang lain ada yang berjarak lebih dekat. Hingga ada juga yang cukup mengambil pasangan terdekat, alias pek nggo yaitu cukup mengambil pasangan dari tetangga terdekat yang kadangkala ia adalah teman main kita sewaktu masih kecil dulu.

Dari pasangan yang kita pilih atau takdir kita, lahirlah sang bayi. Dia adalah keturunan kita yang akan menyambung usia setiap keluarga, yang masing-masing memiliki keterbatasan usia. Berarti, bayi lahir akan memiliki tradisi di seputar kedua pasangan yang menjadi orang tua darinya. Tradisi tilik bayi memiliki pola yang menjelaskan seperi apa saja pola-pola baur antara kaum kayah dan ibu dalam suatu rumah tangga.

 

Kudus dengan Semarang 

Anak kami yang ketiga memiliki kemiripan dengan anak yang kami yang kedua, memiliki suami dari daerah asal ortu kita. Jika pada anak kedua memperoleh suami yang berasal dari Kediri yaitu asal usul Ibu saya dahulu, maka pada anak kami yang kedua memperoleh suami berasal dari Kudus yaitu asal keluarga istri saya yang telah melahirkan empat orang anak kami. Dari situ, kami mengenal tradisi yang variatif bagi keluarga kami dalam pelbagai segi kehidupan, tak terkecuali tradisi bagaimana tilik bayinya di dalam kehidupan ini.

 

Tradisi Saling Memberi

 Pada tradisi Kudus ada kebiasaan saling memberi yang cukup menarik.  Untuk pernikahan, ada kebiasaan memberi berkat dahulu sebelum para undangan yang kita undang dapat hadir di acara walimatul arusy sang pengundangan. Dan acara pun dengan begitu berlangsung, lebih rapi dengan kadar waktu sesuai ditargetkan kepanitiaan. Dari tradisi ini, maka para undangan tertarik untuk datang pada hari dimana mereka diundangan, dan relatif sungguh-sungguh bisa hadir atas undangan yang telah diberkati itu.

Teryata tradisi saling memberi ini tidak hanya terjadi pada saat melangsungkan pernikahan, melainkan juga pada tradisi tilik bayi. Misalnya, berapa orang pun yang datang ke rumah orang Kudus yang datang untuk tilik bayi, maka sang tuan rumah “wajib” menyiapkan berkat balik untuk mereka yang telah datang menilik bayi atau anak kita. Seperti yang terlihat dalam pengalaman tilik, misalnya: berkat pengembalian menggunakan tas biru yang di dalammya diisi dengan bawaan yang lumayan pantas. Sebut saja berisi mie, baskom, dan kue yang layak dimakan dan dinikmati. Sang tuan rumah, juga bersedekah bari tetangga atau handai tolan yang hadir ke rumah kita untuk acara titik bayi — yang tentu saja tidak diundang itu (Erfan Subahar).    

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *