Penting: Memiliki Fokus di Waktu Salat dan Beraktivitas
Menjelang melakukan salat, setiap muslim mesti pas ketika salat. Yaitu fokus menghadap kiblat, lalu berniat bersamaan dengan takbiratul ihram. Begitu pula ketika beraktivitas di luar salat, supaya mendapat ridha Allah dan Rasul-Nya, orang mukmin juga berfokus, sehingga semua aktivitas hidupnya disebutlah ibadah. Sebab didirikan dengan menghadap Allah, dan dilakukan secara tulus atau murni (ikhlas) hanya karena Allah Swt. Maka dari situ dikenal bahwa muslim yang mukmin tadi beramaliah yang diberkahi oleh Allah Swt. Indikator ibadahnya jelas, bukan hanya bismillah dan niat yang diungkap, tetapi juga pekerjaannya sudah memenuhi syarat dan rukun yang dipahami dengan benar dan baik sebelumnya.
Maka ingatan hati kepada Allah melalui penghadapan diri ke Baitullah ketika melakukan shalat adalah kebiasaan harian kita yang tidak ditawar-tawar lagi. Sebab salat yang menghadapkan hati atau ruh dan diri ke Baitullah menandakan jelasnya ke alamat yang kita tuju ketika salat. Juga ketika sedang beraktivitas lain dalam kehidupan. Dengan jelasnya fokus, maka jelas juga ke mana diarahkan ingatan kita ketika salat dan ketika melakukan aktivitas. Sebab kita diperintah, agar mendirikan salat hanya untuk mengingat Allah semata (wa aqimis shalaata li-Dzikrii). Dan difirmankan Allah, “Senantiasa ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan senantiasa mengingat kalian… (fadzkuruunii adzkurkum wasykuruulii walaa takfuruunni)” Ditambahkan, “Senantiasa bersyukurlah kalian kepada-Ku, jangan sekali-kali kufur (wasykuruulii walaa takfuruuni).”
Fokus di Baitullah
Ada ungkapan para guru kita ketika mengajarkan salat kepada kita sewaktu menjadi murid di SD atau MI atau Madrasah Diniyah dahulu. “Ketika mendirikan salat, perhatian jangan kemana-mana, tapi diarahkan hanya ke Baitullah. Jangan lupa ini, “ begitu guru atau ustadz beliau menegaskan. Ini berarti bahwa orang salat itu secara hakikat mesti memiliki tujuan, yaitu menghadap Baitullah. Orang sekarang menyebutnya fokus ke Baitullah, sebab jika tidak jelas arah ketika salat, maka salat kita akan glambyar. Perhatian mudah terseret setan ke mana-mana, seperti tergoda ingat sandal yang dikhawatirkan hilang, ingat hutang yang belum dilunasi, atau ingat pekerjaan rumah yang belum kita selesaikan. Khusyuk, sangat mudah diombang-ambing jika salat seseorang tidak jelas fokusnya.
Padahal fokus ke Baitullah tidak cukup hanya diberlakukan pada salat. Amaliah harian kita pun – ketika kita sedang berjaga dan sadar (selain tidur), juga mesti diarahkan ke Baitul lah. Karena amaliah yang diarahkan ke Baitullah, mudah mendapatkan pertolongan ketika diri kita menghadapi persoalan di dalam kehidupan. Baik berkenaan dengan persoalan moralitas seperti kecurian, atau penipuan, atau ujian keimanan yang berat, maka ketika menghadapi persoalan-persoalan itu kita sering merasa gundah, sering bingung dan was-was. Bahkan tidak jarang, kita menjadi galau akibat tidak jelasnya ke arah mana dan bagaimana tepatnya kita ketika mesti menyelesaikan persoalan itu. Padahal jika ingatan kita kuat dan berterusan (li-Dzikrii) kepada Allah, dan hidup kita senantiasa penuh syukur, maka janji Allah “Aku akan senantiasa mengingat kalian…” akan mudah kita dapatkan. Bahkan, hidup kiakan akan senantiasa dilindungi-Nya dan diberi kekuatan atau solusi ketika kita menerjuni kehidupan.
Jelasnya, orang yang telah senantiasa berfokus ke Baitullah baik dalam salat dan di luar salat, dirinya mudah memperoleh pertolongan Allah Swt di dalam menjalani kehidupan. Hal itu karena dia membawa salat secara berkelanjutan di dalam kehidupan nyata, yakni dirinya ingat terus secara sadar akan Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa (shalat daaimun), di samping bahwa hidupnya dilakukan dengan benar dan baik sebagai tanda terus bersyukur kepada Allah, dan tidak kufur kepada Allah Swt.
Akhirnya, kemampuan fokus tentu berangkat dari kebaikan hati orang yang dirasakan ketika berinteraksi dengan Penciptanya dan berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungannya di dalam kehidupan sehari hari. Kontak yang stabil dan harmoni dengan Pencipta yang dihadapinya, selain juga dengan sesamanya menjadikan keselamaian dan kedamain dapat diperolehnya di dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yang berdampak bagi diperolehnya kebahagiaan di akhirat yang akan datang (Erfan S).