Besuk Ibu Sakit Sepuh di RSUD dr Kusnadi Bondowoso
Ibu sudah terlihat sangat sepuh. Orang tuaku, pemilik nama asli dari nama Sri Indiah itu, kini sudah memasuki usia 84 tahu dalam hitungan masehi. Ini dipahami dari kelahiran beliau, 14 Desember 1934. Beliau sudah cukup lama menghantar anak cucunya ke tengah-tengah kehidupan, setelah ditinggal Ayahanda K.H. Moh Soebahar alias K.H. Bahrul Ulum, yang wafat pada tahun 1993.
Buktinya, selain adik-adik saya sudah sama selesai studi S2, keluarga Bani Soebahar sudah dua orang yang guru besar, dan seorang lagi sudah doktor, tinggal bungsunya yang hampir menyelesaikan disertasinya. Cucunya pun sudah cukup banyak. Bak Muhasshonah, anak yang pertama beranak tiga orang, bercucu tiga orang. Saya beranak empat orang, bercucu lima orang. Adik saya creng, Siti Halimah (almarhum) beranak tiga orang, bercucu tiga orang. Dik Abdul Halim, beranak empat bercucu satu orang. Dik Fadli beranak 4, belum menantu. Dik Zar bungsu, beranak 6 sekalipun belum bermenantu. Dari hitungan ini, dari enam putera sudah diperoleh 12 orang cucu.
Ibu dianugerahi usia yang relatif panjang. Dari sudut kesehatan, pernah dilihat pemeriksaannya , jantung Ibu sangat baik. Hanya paru-parunya ketika sakit yang lalu itu, dilihat dokter ada cairan. Sarafnya sedikit terganggu, mungkin karena tidurnya akhir-akhir ini yang sering tidak tetap, sehingga darah bagian bawah adalah 80, sedang bagian atasnya bergerak tidak stabil, yaitu naik dari 150 sampai 190-an.
Pada sakit dari Senin hingga Jum’at di RSUD Bondowoso itu Ibu sedikit berbeda dari sebelumnya. Sudah sering marah-marah karena melihatnya yang kadang sering salah. Bak Muhasshonah, sudah sering ditanya sudah punya anak berapa? Begitu dijawab, “kamu seperti anak saya yang Ibunya Hanik itu ya?” Padahal yang namanya Ibunya Hanik itu, yaitu Bak Muhasshonah itu sendiri.
Saya pulang mendadak, karena ketika masuk rumah sakit di hari kedua, dik Abdul Halim, meminta saya segera pulang. Karena Ibu sudah menanya-nanya saya, menyebut-nyebut saya. Ketika di rumah sakit, ibu selalu lupa bahwa seakan itu selalu di rumah. Bisa jadi karena ketika ibu tidak sadar sewaktu sakit, ibu masih dalam suasana di rumah, Tangsil Kulon, Tenggarang, Bondosowo.
Atas desakan para Bani Soebahar untuk pulang, akhirnya saya pulang. Berangkat dari Semarang naik KA Jayabaya ke Surabaya, sampai di Surabaya pukul 23 malam. Lalu naik Taksi Rp 80.000,- via Wonokromo, Wonocolo ke Bungur Asih. Dari Bungur Asih terus ke Terminal Jember. Dari Jember saya naik Angkot ke Bondowoso, Rp 115.000,- langsung ke RSUD Bondowoso.
Dari hari Rabu, saya di Bondowoso sampai dengan hari Jum’at siang. Sesudah salat ashar, saya diantar oleh keponaanda Chalilah, saya diantar ke jalan Besuki untuk naik Izuzu menuju Besuki, untuk selanjutnya melakukan perjalanan dari Besuki ke Surabaya naik Bus Akas. Sesampai di Surabaya, setelah menyempatkan salat Jamak Ta’khir Qashar, saya menuju Bus Indonesia untuk pulang ke Semarang. Bus, yang sekarang sudah dalam desain modern itu dimana supir dan kondektur sudah dalam pintu yang terpisah dengan penumpang, kami diberangkatkan ke Semarang dari Terminal Bungurasih Surabaya pas pukul 23 malam, sehingga sampai di Semarang pada hari Sabtu, 25 Pebruari 2017 pukul 6.00 pagi hari dalam keadaan selamat (Erf).