Dari Miskin Menjadi Kaya, Bisakah?
Menurut Dr KH M.A.Sahal Mahfudh, “menjadi miskin adalah berdosa karena miskin jadi sumber bencana, pendidikan tidak maju, kebudayaan tidak berkembang, perjuangan mengibarkan panji kebesaran Islam juga stagnan, dan mudah tergoda pihak-pihak tidak bertanggung jawab, sampai mengorbankan keyakinan agama.”
Permasalahan sekarang; siapa yang memberi stempel miskin pada seseorang, dirinya ataukah Tuhan? Benarkah titel dari suatu golongan atau suatu jamaah yang menyebut diri jamaah wong rekasa? Dapatkah sikap miskin diubah untuk menjadi kaya?
Pemberi Stempel Miskin: bukan Allah
Miskin merupakan sikap manusia. Artinya, miskin merupakan stempel yang dilekatkan oleh seseorang atau lingkungan, atau bisa jadi oleh media kepada seseorang yang kurang mampu berusaha. Kekurangmampuan berusaha bisa jadi sebab dirinya tidak bisa bergerak maksimal sebab fisiknya lahir dalam keadaan lemah, atau (ini yang terbanyak) sebab malas atau tidak suka bergerak secara kreatif dan dinamis di dalam kehidupan.
Namun, pada orang yang malang pun sepanjang ada mau dalam dirinya maka stempel miskin tidak layak disandangnya. Sebab, dengan kemauan eorang tetap bisa menjadi orang berdaya. Di media TIVI, kita kerap melihat kebehabatan orang-orang yang buntung tangannya, tetapi kakinya masih bisa berjalan; orang itu dengan modal kemauan kerasnya menjadi orang yang berhasil spt mampu menggambar secara fantastis memakai kakinya sehingga hasilnya mengalahkan kebanyakan orang yang berbadan lengkap. Dan dapat berjualan seperti orang sehat yang lengkap anggota badannya. Misalnya orang yang tidak punya dua kaki, dapat disaksikan menjadi juara lomba bersepeda; menjadi pengajar yang berhasil; menjadi ayah atau ibu yang berhasil.
Stempel miskin biasanya ditempelkan oleh seseorang. Miskin umumnya diberikan oleh orang yang tidak paham berkenaan dengan tindakan. Yaitu suatu tindakan yang darinya seseorang bisa berhasil atau gagal. Sebab, keberhasilan orang ada hubungan dengan action, sikap segera bertindak, berbuat saat sekarang, ya di saat ini untuk menyegerakan perbaikan hidup.
Jika seseorang selalu bergerak benar dalam berusaha dari waktu ke waktu untuk mencukupi diri dalam bidang ekonomi, maka ada waktunya ia akan berhasil. Menuai buah geraknya. Maaf, ayam saja dengan mencakar-cakar kakinya di tanah dari pagi sampai sore, ia hampir bisa dipastikan dapat kembali pulang ke kandangnya sore hari dalam keadaan sudah kenyang dan bisa tidur pulas.
Jika orang yang mestinya bergegas ke tempat kerja untuk memperoleh rezeki namun dia selalu menundanya, atau selalu bermalas-malas melakukan sesuatu karena cuaca tengah musim hujan maka pemberian stempel miskin — dalam konteks ini– sedang dia ukir sendiri. Sikap suka menunda dan malasnya, dari waktu ke waktu dalam hal seperti itu, diukir sehari ke sehari hingga memperkuat gurat-gurat untuk menjadi sebuah stempel, yang semakin lama semakin nyata corak stempelnya. Orang seperti itu, kalau bergerak hanya seperti naik kursi kuda-kudaan, kelihatannya sibuk tapi jalan ditempat; sulit untuk mensyukuri buah tangannya karena tak ada hasil kerja yang bisa ditatap oleh dirinya, lebih-lebih oleh lingkungannya. Mesti diingat: stempel itu dibuat dirinya, ikhtiarnya tidak diberkahi karena tidak berangkat deri niat yang tulus dan kesungguhan dalam bekerja yang berarti.
Dari keterangan di atas, jelas stempel miskin tidak dari Tuhan tetapi dari kelemahan manusia sendiri. Kalau manusia masih mau bersusah payah, berikhtiar nyata maka miskin tidak akan menjadi stempelnya. Allah Swt untuk itu, menegaskan dalam suatu hadis qudri: Ana ‘Inda Zhanni ‘Abdi Bi. Wa Ana Ma’ahu Haytsu Yadzkuruni. Artinya, ‘Aku ini (kata Allah) menurut persangkaan atau pemikiran dari hambaku, dan Aku bersama hambaku dimana pun mereka bersama-Ku.
Hadis qudsi di atas begitu jelas menunjukkan di mana posisi hamba di hadapan Allah Swt. Allah akan senantiasa memperhatikan hambanya yang berikhtiar. Karena dengan ikhtiarlah, mereka layak menyandang nasib cukup/kaya. Dan tanpa ikhtiar maka tidak layak seseorang menyandang nasib citra pribadi cukup atau kaya dari siapapun. Padahal, mereka yang cukup dalam berusaha, maka amalnya jelas diperhatikan oleh Allah, para Rasul, dan segenap manusia, kata Al-Qur’an.
Jadi jelas, bahwa tidak ada stempel apapun dari Tuhan atas kemiskinan hamba-Nya. Stempel mereka diukir oleh dirinya dan dari kebiasaannya dalam hidup bermalas-malas atau menunda- nunda suatu pekerjaan. Jangan menyalahkan suatu kaum pengusaha dari etnis tertentu di negeri ini seperti Cina, yang hampir tidak ada dari mereka yang kelihatan miskin. Sebab, mereka dalam sehari-hari menyukai kerja. Ya kerja nyata. Bukan hanya membicarakan orang lain bahwa ia bekerja atau tidak. Yang jelas, jika saja kita bekerja dengan mengucap Basmalah lalu tulus dalam bekerja, maka benih-benih kecukupan dan kaya akan terus mewujud yang akan membawa kita bisa sejahteta dan bahagia.
Menyetempel Diri Orang Rekasa, Benarkah?
Dalam Islam tidak ada pengkastaan kelas nasib seseorang. Ungkapan kaum “sudra” (kelas rendah, atau kelas rekasa) hanya ada pada agama lain. Yang benar-benar sangat disukai oleh oleh Allah Swt adalah titel “orang terbaik bagi umatnya.”
Misalnya, Al-Qur’an menyebutkan: Kuntum Khaira Ummatin Ukhrijat Linnas Ta’muruna bil Ma’rufi wa Tanhawna ‘Anil Munkar. Artinya, ‘Kalian semua adalah sebaik-baiknya umat yang bertugas amar ma’ruf dan nahi munkar ke tengah-tengah kehidupan.
Ayat ini menyemangati kita, bahwa semua umat Islam itu dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang khaira ummah. Menjadi umat yang terbaik, yang hidupnya berikhtiar yang optimal agar sukses dunia dan sukses akhirat serta sekaligus mulia.
Umat dapat dikategorikan khaira ummah kalau dirinya takwallah (terus memelihara diri dan takut kepada Allah), tekun dan disiplin dalam hidup sehari-hari (kuat dan pantang putus berikhtiar), dan suka hidup tawadhu atau jauh dari sifat sombong.
Orang takwa itu, hidup senantiasa memelihara diri. Dirinya dipelihara, agar tiga perioritas menjadi penghebat dirinya. Yaitu Allah dan Rasul menjadi perioritas awal; keluarga menjadi perioritas kedua; lalu karir (kerja beretika dan berdisiplin kuat) sebagai perioritas ketiga. Ya kalau berpegang dengan tiga prioritas ini, mereka akan menemukan diri apa yang menjadikannya bisa hebat, sehingga terpacu semangat ke arah mewujudkan tiga prioritas kuat itu.
Jadi kalau orang mau menjadi orang kaya, maka buat dulu stempel positif. Mesti husnuzhzhan kepada Allah. Jangan menyebut-nyebut diri dengan gelar yang tidak disukai Allah. Karena lemah itu tidak mesti berarti rekasa. Jangan menyetempel dirinya negatif, seperti dengan menyebut jamaah orang rekasa. Karena dengan menyetempel diri menjadi jamaah orang rekasa, akan sukar naik derajat menjadi orang yang mampu. Karena mana ada orang yang rekasa itu benar-benar akan berubah menjadi orang mampu. Bukankah orang mampu itu berangkat lebih dahulu dari pikiran untuk bertekad menjadi orang mampu, sehingga menyemangati diri untuk menjadi orang mampu?
Kaya: Lewat Disiplin Kuat, Doa, dan pantang sombong
Orang kaya itu bermula dari kaya jiwa. Sabda Nabi saw, Innal Gihna Ghinan Nafs ‘kaya itu kaya jiwa’.
Jelasnya, setelah jiwa ini sudah kaya, berpikirnya sudah positif, maka dorongan dari dalam sudah mulai menguat. Prioritas ketiga dari hidup tersebut, sudah beroleh kekuatan dari prioritas pertama dan kedua. Allah swt dan rasul-Nya, juga dorongam keluarga sudah menyeport kita, sehingga jiwa dan raga kita benar-benar termotifasi kuat dan terus menerus bersemangat.
Depan rumah Pewakaf Masjid Kubah Mas
Dari sinilah, semua yang dulu belum kita rasakan, sekarang datang kepada kita, yang terasa bergerak naik setahap demi setahap. Semangat menekuni kerja kerja pokok sudah mulai. Eeh, tantangan kerja lembur dan yang tambahan sudah datang. Pemasukan demi pemasukan sudah mulai, terus, dan terus meningkat … dan akhirnya banyak. Akan tetapi ingat, … di balik itu ujian akan datang.
Ujian pertama, sikap sombong. Ujian ini rayuan setan. Kita tak boleh tergoda dan terpikat ujian yang satu ini. Ini ujian bagi para wali, kiai, dosen, para guru, dan semua hamba Allah. Bisik setan, ayo bilang saja semua ini dari kemampuanku sendiri lho. Semua ini, dari ikhtiarku sendiri kok. Dulu aku ini tidak punya apa-apa, nah sekarang? Bahkan, tanpa banyak berdoa pun, aku juga bisa kok….. dan macam-macam rayuan setan yang berisi kesombongan…
Kalau rayuan setan ini diikuti, kekayaan kita pada awalnya masih bisa berlanjut… Bisa jadi juga sampai beberapa lama. Akan tetapi, dalam beberapa waktu kemudian, perlahan-lahan ia akan musnah,…. karena pemilik harta yang sombong akan apes juga, ia akan tidak tahan godaan. Sikap sombong kita itu, dapat membawa kita ini jatuh. Kita masih ingat bukan tentang tokoh yang bernama barseso…? Kita ingat juga bukan banyak orang kaya yang berakhir hidup ngenes bahkan tragis karena hartanya punah sebab habis biasa pengobatan … diabet, cuci darah, kanker… dan masih banyak lagi. Sekarang ke mana sudah si sombong itu?
Yang tepat, kepatuhan kita kepada Tuhan mestinya tetaplah diperteguh. Kita tetap berusaha atau berikhtiar dengan disiplin kuat plus beribadah mantap dan berdoa. Diuji apapun, tetaplah saja bersyukur, terus beribadah baik dan disiplin dalam ikhtiar, tanpa henti. Perteguh terus ikhtiar, beramal ikhlas, yakin, dan tawadhu… hingga dalam suasana apapun sepanjang hidup kita, rezeki insya Allah akan terus berdatangan dari sudut-sudut tertentu tanpa diduga-duga. Terus perkuat dengan suka beristighfar serta mengeluarkan sedekah dan zakat harta kitanya dengan istikamah, di setiap memperoleh rezeki Allah dan memenuhi nishab harta. Dengan ini, kekayaan akan terus menyertai diri kita. Dan Allah swt tentu tetap lega, ridha dengan perilaku kita.
Dengan begitu, kita menjadi orang kaya yang tahan uji. Di musim orang sama kaya kita juga kaya, di musim orang lain pacelik kita tetap bisa eksis, dan di musim dunia sedang resesi ekonomi, insya Allah kita akan tetap dalam pertolongan Allah swt. Bagaimana kita siapkah diri ini menjadi orang kaya yang kuat dan tahan uji. Bismillah, mari kita ikhtiar bersama, semoga berhasil (Erfan S, 26-1-2014; 29-12-2014).