Sewaktu Kawan Sekuliah Sudah Sama Guru Besar

IMG-20151205-WA0000

Guru besar dari Makassar, Riau, Semarang

Menjadi guru besar tidak semua orang terdidik mencita-citakannya. Lebih-lebih di era sekarang, dimana guru besar sudah tidak cukup dengan sekadar bermodal tekun dan sabar dalam bertugas dengan tri dharma, tetapi benar-benar memerlukan ketekunan dan kesabaran yang tinggi. Bahkan sudah dipersiapkan dengan sedemikian, masih juga jarang yang mencapai apa yang diinginkan.

 

Gigih dan Berlatih

Pada masa kami kuliah dulu, target menjadi guru besar tidak selalu dipasang. Yang penting, ketika belajar, diri ini tidak boleh main-main, itulah yang dipegangi. Apatah lagi sampai akan main-main dengan hidup. Yang banyak dilakukan pada setiap hari, membaca cukup banyak kitab atau buku; yang sudah dipelajari dikuasai benar-benar, yang belum diajarkan tetapi sudah direncanakan benar-benar dibaca dan dilihat secara cukup sehingga yang namanya apersepsi selalu saja disempatkan. Ya, pendeknya belajar itu semampu yang bisa dilakukan selaku dipersiapkan dengan baik hingga dikuasai baik dengan melalui pembuatan ringkasan, dan sekaligus secara berulang-ulang, sampai akhirnya bahwa ujian itu tidak saja sudah dikuasai materinya tetapi sekaligus tekniknya. Dengan begitu, tampak di dalam belajar sudah tertanam yang namanya gigih dan berlatih sampai benar-benar dikuasai.

Sekalipun begitu, tentu pengalaman jatuh juga bukan tidak pernah. Karena belajar di masa dahulu, menghafalkan itu tidak boleh tidak. Nasib jatuh dalam belajar bisa saja terjadi. Kalau dosen yang menguji misalnya sangat menyukai hafalan plek, persis apa yang diminta dihafalkan olehnya. Bagi yang gandrung ujian versi hafalan ini, sekalipun mahasiswa memiliki kemampuan yang andal dalam berbahasa dalam menjawab soal-soal ujian, namun jika tidak juga hafal apa-apa pelajaran yang diperintahkan oleh dosen untuk menghafalkannya, bisa jadi mereka yang belakangan ini lulusnya molor. Bisa berulang-ulang untuk mencapai kelulusan seperti yang diharapkan.

Namun, bagi yang suka meringkas materi apa yang ingin dikuasai secara utuh, dan wajib menghafal dengan gigih apa-apa yang mesti dihafal plek, umumnya banyak terbantu dengan kegigihan dirinya dalam berlatih itu.

 

Kebutuhan Pokok dan Siap Mental

Ada yang sering tidak terlacak oleh umumnya kawan-kawan yang dulu sama kuliah. Yaitu kebiasaan kawan-kawan yang tidak terlalu kuat dalam hal biasa tetapi ternyata mereka berhasil. Yaitu kebiasaan harian yang dilaksanakan secara konsisten. Kebiasaan yang sudah dilakukan pada masa studi di masa lalunya itu, dilanjutkan dengan sangat konsisten di masa studi lanjutnya, bahkan hingga studi program doktor.

Misalkan, kebiasaan bangun untuk salat malam, belajar lagi, sambil menyiapkan makan sarapan dan makan siang. Kebiasaan bangun dua jam sebelum subuh, lalu melakukan salat malam, sambil menyiapkan sarapan pagi dan tentu tidak lupa memegang buku bagi memperkuat penguasaan apa yang sudah diringkas, dan mengulangi apa yang ingin dikuasai. Kebiasaan ini sering menjadikan kawan-kawan yang istikamah ini lulus tepat waktu. Padahal, mereka lulus dalam kondisi ekonomi yang sering ngepres. Dengan ketekunan belajar, disertai kesiapan hidup prihatin, tetapi tetap selalu gigih, kesiapan mental menghadapi tugas seperti apapun sering berakhir dengan keberhasilan yang sering melebihi orang lain seangkatan.

 

Belajar, Kuasai, Bersyukur Dalam Semua Hal

Saya merasa sangat senang berjumpa kawan yang dulu ketika studi di program doktor pernah hidup seasrama. Prof Dr Arrofi’i Abduh dan Prof Dr. Samiang Katu adalah dua kawan yang tidak mudah saya lupakan. Yang pertama berasal dari Riau, sedang yang kedua berasal dari Makassar. Beliau adalah kawan yang sehari-harinya tekun belajar dan andal dalam penguasaan materi. Kebiasaan yang sudah dipraktekkan oleh guru besarnya seperti Prof Harun almarhum, yang begitu menyayangi dan akrab dengan para mahasiswanya dipraktekkan dengan baik dalam kehidupan harian kawan kita ini. Dari situ, beliau berdua bisa belajar cepat, lalu menguasai, dan segera selesai studi program doktor dalam dua tahun. Dimulai studinya tahun 1996, selesai promosi doktor tahun 1998.

Ternyata, beliau yang sudah doktor di tahun 1998 itu, hingga perjumpaan kami pada konferensi guru besar pada akhir November 2015, beliau berdua wajahnya belum juga nampak tua. Ternyata selain tekun belajar, beliau berdua suka melakukan senam ringan, tetapi mantap menjaga mental.

Ketika kepada Prof Arrofi’i saya tanya: apa resep anda masih selalu segar dan awet usia begini? “Menjaga yang kita makan,” jawabnya. Ya, “makanan baik juga yang sesuai kebutuhan fisik saja,” lanjut Prof Arrofi’i.

Dan ketika kepada Prof Sami’ang Katu saya tanya, apa resepnya kok sampai sekarang rupa masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Sambil ketawa beliau menjawab, “Hiduplah bersyukur dalam semua hal.” ucapnya.

Dalam semua hal? saya tanya lagi. Ya, dalam semua hal Prof. Karena, dari pada pikiran kita tergiring ke hal-hal yang bersifat kufur, ternyata anugerah Tuhan begitu banyak kepada kita, sehingga yang terbaik, bahwa hidup adalah dengan bersyukur.

Ya, bersyukur menjadikan diri ini selalu terjaga baik. Nikmat pun, yang dijanjikan Tuhan kepada yang mereka yang suka bersyukur, akan selalu ditambah-tambah oleh Allah, sehingga mantap dan awet mudalah diri kita dalam kehidupan ini (Erfan S).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *