Kiai Bisyri Mustafa: Jago Podium dan Pejuang Kemerdekaan (1)

Tokoh yang dihadirkan menjelang hari kemerdekaan Indonesia kali ini adalah KH Bisyri Mustafa, yang biasa kita kenal dengan Kiai Bisyri Mustofa. Beliau ternyata bukan hanya seorang tokoh yang ahli di bidang keilmuan dengan segenap karya yang dihasilkan melainkan juga jago podium dan pejuang kemerdekaan di Republik Indonesia ini.

Siapakah sebenarnya Kiai Bisyri Mustafa itu; apa saja keunggulan beliau; dan apa saja karya yang beliau tinggalkan bagi kehidupan ini? Dengan mengumpulkan bahan dari pelbagai sumber, tokoh yang dihadirkan di ruangan kita kali ini diuraikan di bawah ini. 

 

Nama dan Kelahiran

KH Bisri Musthofa lahir di Rembang pada tahun 1914. Beliau putera pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah. Beliau memiliki nama asal Mashadi yang di kemudian hari diganti dengan Bisri. Pada tahun 1923, ayah beliau KH. Zainal Musthofa menunaikan ibadah haji bersama istinya, Nyai Siti Khadijah, dengan membawa anak-anak yang masih kecil. Setelah menunaikan ibadah haji, di pelabuhan Jeddah, Kiai Zainal jatuh sakit sehingga wafat di Jeddah dan Kiai Zainal dimakamkan juga di Jeddah. Sedangkan istri dan putera-putera kembali ke Indonesia.

Sesampai di Indonesia, Bisri belia bersama adik-adiknya, diasuh oleh kakak tirinya, KH. Zuhdi (ayah Prof.  Masfuk Zuhdi), dibantu oleh Mukhtar (suami Hj. Maskanah).

Bisri kecil menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera), sehingga selesai. Bisri kecil mengaji di Pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Bisri juga mengaji kepada Syaikh Ma’shum Lasem, yang menjadi ulama besar di kawasan pesisir utara Jawa. Kiai Ma’shum merupakan sahabat Kiai Hasyim Asy’arie, juga terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bisri muda juga tabarrukan kepada Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dari sini terlihat, sanad keilmuan Kiai Bisri tersambung dengan ulama-ulama di Jawa, yang menjadi jaringan ulama Nusantara. Kiai Bisri suntuk mengaji kepada Kiai Kholil Haroen, Kiai Ma’shum Lasem dan beberapa ulama lain.

 

Santri Kelana

Sebagai santri, Bisri muda memang dikenal gigih dan santun. Kecerdasan dan penguasaaan atas kitab-kitab kuning, serta sikap moral tawadhu’ terhadap Kiai, menjadikan Bisri dekat dengan Kiainya, Kiai Kholil Haroen. Kemudian, Kiai Kholil menjodohkan santrinya ini dengan putrinya, Marfuah binti Kholil. Pernikahan pasangan santri ini, berlangsung pada 1935, dengan dikarunai keturunan: Kholil Bisri, Musthofa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najikah, Labib, Nihayah dan Atikah.

Setelah menikah dengan putri Kiai Kholil, Bisri muda berniat melanjutkan petualangan keilmuan. Semangat belajar sebagai santri kelana memuncak pada diri Bisri muda. Akhirnya, jejak langkahnya untuk mengaji mendapat kesempatan, dengan melanjutkan tabarrukan kepada Kiai Kamil, Karang Geneng Rembang. Pada 1936, Kiai Bisri menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mengaji kepada ulama-ulama Hijaz. Di antaranya guru-gurunya: Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi. Selain itu, Kiai Bisri juga mengaji kepada ulama-ulam Hijaz asal Nusantara, yakni KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy’arie) dan KH. Bakir (Yogyakarta).

Setelah setahun belajar kepada ulama Hijaz, Kiai Bisri pada tahun 1937 pulang ke tanah air. Kiai Bisri kemudian membantu mertuanya, KH. Kholil Kasingan mengasuh pesantren di Rembang. Setelah itu, Kiai Bisri bersama keluarga memutuskan untuk menetap di Leteh, dengan mendidik santri dan mendirikan pesantren Raudlatut Thalibin.

Dalam mengasuh santri, Kiai Bisri sangat gigih dalam memberikan perhatian dan penanaman nilai-nilai kepada anak didik. Di Pesantrennya, beliau mengenalkan ibadah sedini mungkin, budi pekerti, tata krama dan tradisi pesantren yang menjadi benteng perjuangan para kiai.

Kiai Bisri menganggap bahwa hubungan antara kiai dan santri harus dekat, sebagai hubungan antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad. Beliau berpandangan, bahwa syariat Islam dapat terlakasana di Indonesia, namun tanpa harus menggunakan formalisme agama seperti dalam bentuk negara Islam (Darul Islam).  Dari situ, beliau mendukung konsep Pancasila sebagai wawasan Nusantara, serta pilar NKRI. Beliau mendorong komunikasi antara Ulama dan Zu’ama, yang bertujuan mencetak kader-kader handal di Nahdlatul Ulama. Dalam konteks ini, beliau berpandangan bahwa, perjuangan bisa dilakukan dengan dua cara: yakni jalur politik dan jalur dakwah atau pendidikan.

 

Perjuangan Keindonesiaan

Menurut Kiai Sahal Mahfudh (2005), Kiai Bisri Musthofa memang “sosok yang luar biasa pada zamannya. Pada diri Kiai Bisri tidak hanya keilmuan yang luas, tetapi juga daya tariknya, daya simpatik ,dan daya pikat yang memukau siapa pun yang berhadapan dengan beliau. Apalagi, ketika beliau sedang berpidato di depan khalayak ramai, dapat dipastikan para pendengar terpukau dan terpingkal-pingkal karena gaya bicara, aksen suara dan lelucon-leluconnnya yang segar.

Kiai Bisri Musthofa juga dikenal penyair, yang menggubah syair dari bahasa Arab ke Jawa, yang mudah dipahami publik. Misalnya, menggubah syair Ngudi Susilo dan Tombo Ati. Syair Ngudi Susilo merupakan syair yang berisikan pesan-pesan moral yang ditujukan bagi anak-anak tentang cara menghormati dan berbakti kepada orang tua (birrul walidain). Sedangkan, syair Tombo Ati adalah syair terjemahan dari kata mutiara Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Tombo Ati dalam versi Jawa merupakan gubahan Kiai Bisri. Syair ini, saat ini banyak dilantunkan dalam grup shalawat dan musik, di antaranya sering dinyanyikan Kiai Kanjeng dan Cak Emha Ainun Nadjib.

Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang kondang, beliau memberikan ceramah di berbagai daerah. Kemampuan komunikasi yang handal di atas panggung, menjadikan Kiai Bisri disebut sebagai ‘Singa Podium’. Dalam catatan Kiai Saifuddin Zuhri, Kiai Bisri dikenal mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah dicerna baik orang-orang perkotaan maupun warga desa yang bermukim di kampung-kampung. Dalam orasi Kiai Bisri, hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, hal sepele menjadi amat penting. Selain itu, kritik Kiai Bisri sangat tajam, dengan karakter khas berupa gojlokan dan guyonan ala pesantren. Kritikan spontan dan segar, menjadi strategi komunikasi yang tepat, sehingga pihak yang dikritik tidak merasa tersinggung atau marah. Inilah kelebihan Kiai Bisri sebagai muballigh, orator dan kiai yang paham politik.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri juga bergerak untuk melawan pasukan Kolonial. Bersama para kiai, Kiai Bisri terlibat langsung dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika itu, Laskar Santri menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa. Barisan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah telah dibentuk dibeberapa daerah. Laskah Hizbullah dikomando oleh Kiai Zainul Arifin, sedangkan Laskar Sabilillah dipimpin Kiai Masjkur Malang. Pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy’arie menyerukan Resolusi Jihad, sebagai panggilan perjuangan para santri, pemuda dan warga untuk berperang melawan penjajah. Perjuangan ini menjadi bagian dari keimanan, demi tegaknya kemaslahatan bangsa Indonesia.

(Bersambung ke Bagian II).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *