Kisah Nabi Musa dan al-Khidir: Suatu Kerangka Ilmu Ladunni (2)
Kontrak Belajar
Dalam praktik, terjadi pelanggaran Nabi Musa a.s. dalam proses pembelajaran yang ditetapkan oleh Nabi Khidir a.s. Pelanggaran pertama, terjadi tatkala mereka sampai di tepi pantai. Di situ terdapat sebuah perahu yang sedang berlabuh. Nabi Khidhir a.s. minta pertolongan kepada sang pemilik perahu, agar menghantar mereka ke suatu tempat yang mereka tuju. Atas kese-pakatan, dengan senang hati diangkutlah mereka berdua tanpa dipungut biaya, bahkan keduanya diperlakukan dengan hormati dan layanan yang sangat baik, karena tampak oleh pemilik perahu bahwa mereka berkedua adalah orang yang memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh orang-orang pada umumnya.
Nah, tatkala mereka berdua duduk dalam perjalanan di atas perahu yang sedang meluncur dengan laju atas air laut di antara gelombang-gelombang perjalanan, tiba-tiba Nabi Musa a.s. melihat Nabi Khidir a.s. mengambil kampak lalu dengan kampak di tangannya beliau melubangi perahu itu dengan mengambil dua keping kayu perahu. Perbuatan Nabi Khidir dimaksud, dalam nalar sehat Nabi Musa a.s. dianggap suatu gangguan dan merusak pada barang milik seseorang yang telah berbuat baik terhadap mereka.
Melihat kejadian yang dirasakan bertentangan dengan norma dan akal sehat itu, Nabi Musa a.s. lalai akan janji yang diucapkannya sendiri. Lalu ditegurlah Nabi Khidir, seraya berkata,: “Anda telah melakukan perbuatan mungkar dengan merusak dan melubangi perahu ini. Apakah dengan perbuatan Anda ini Anda hendak menenggelamkan perahu ini dengan segenap penumpangnya? Tidakkah Anda merasa kasihan kepada pemilik perahu ini yang telah berjasa kepada kita dan mengantar kita ke tempat yang kitai tuju tanpa memungut biaya sesen pun?”
Terhadap teguran Nabi Musa a.s., al-Khidir menjawab: “Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa Anda tidak akan sabar menahan diri melihat tindak-tanduk saya di dalam perjalanan bersama menyertai saya.”
Merasa lalai dari teguran al-Khidir itu, Nabi Musa a.s. berkata: “Maafkanlah saya. Saya telah lupa akan janji saya sendiri. Janganlah saya dipersalahkan dan dimarahi akan kelalaian saya ini.”
Permintaan maaf Nabi Musa a.s. diterima oleh al-Khidir dan tibalah mereka berdua di tempat yang dituju perjalanan berikutnya yaitu di sebuah pantai.
Kemudian perjalanan dilanjutkan di perjalanan darat. Bertemulah mereka berdua dengan seorang anak laki-laki yang sedang bermain dengan kawan-kawannya. Tiba-tiba dipanggillah anak itu oleh Nabi Khidir, lalu dibawanya ke suatu tempat yang agak jauh, dipegangnya kepala anak itu lalu dibantingnya. Riwayat lain menyebut, dibaringkan anak itu lalu dibunuhnya seketika. Alangkah terperanjat Nabi Musa a.s. melihat tindakan Khidir a.s. yang dengan sewenang-wenang telah membunuh seorang anak yang tidak berdosa, seorang yang mungkin sekali dalam fikiran Musa adalah harapan satu-satunya bagi kedua orang tuanya.
Musa a.s., sebagai Nabi yang diutus oleh Allah untuk memerangi kemungkaran dan kejahatan, tentu tidak bisa berdiam diri melihat al-Khidir melakukan pembunuhan yang tiada beralasan itu. Untuk itu maka ditegurlah al-Khidir seraya berkata: “Mengapa Anda membunuh seorang anak yang tidak berdosa? Sesungguhnya Anda telah melakukan perbuatan yang mungkar dan keji.”
Al-Khidir menjawab dengan sikap tenang: “Bukankah saya telah berkata kepada Anda bahwa Anda tidak akan sabar menahan diri dalam perjalanan menemani saya ini?”
Dengan perasaan malu, mendengar teguran al-Khidir itu, berucaplah Nabi Musa a.s: “Maaf kanlah saya untuk kedua kalinya, dan perkenankanlah untuk saya meneruskan perjalanan ber-sama Anda dengan pengertian bahwa bila terjadi lagi perlanggaran dari pihak saya untuk yang ketiga kali, maka janganlah saya diperbolehkan menyertai Anda seterusnya. Sesungguhnya telah cukup Anda memberi dispensasi dan memberi maaf kepada kekhilafan saya.”
Janji Terakhir
Dengan janji terakhir yang diterima oleh al-Khidir dari Nabi Musa a.s., diteruskanlah perjalanan mereka berdua sampai tiba di suatu desa, tempat lain yang mereka ingin beristirahat untuk menghilangkan penat dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Di perjalanan terakhir ini, Mereka berusaha untuk mendapat tempat penginapan sementara dan sedikit makanan untuk pengisi perut yang kosong. Akan tetapi, di situ tidak seorang pun dari penduduk desa — yang penghuninya umumnya pelit — yang mau menolong mereka memberi tempat istirahat atau sesuap makanan hingga rasa kecewa mereka ingin segera meninggalkan desa itu.
Dalam perjalanan Nabi Musa a.s. dan al-Khidhir hendak keluar dari desa itu, mereka melihat ada dinding dari salah sebuah rumah di desa itu yang nyaris doyong mau roboh. Melihat kondisi dinding rumah demikian, segeralah al-Khidhir menghampiri dinding yang doyong itu kemudian memperbaikinya ssampai bangunan dinding rumah itu tegak kembali.
Dalam situasi yang kalut itu, Nabi Musa a.s. menyampaikan teguran spontan, seraya berkata kepada al-Khidir: “Heran benar, mengapa Anda berbuat kebaikan bagi rumah orang di lingkungan yang berakhlak rendah serta pelit ini. Mereka sama menolak untuk memberi kepada kita tempat istirahat dan memberi sesuap makanan untuk perut mengisi perut yang lapar. Bukankan pantas Anda menuntut upah atas aktivitas Anda menegakkan dinding itu, agar dengan upah yang Anda perolehi itu kami dapat menutup keperluan makan dan minum yang sama kita perlukan ini.”
Perspisahan dan Penjelasan Aktivitas
Al-Khidhir menjawab: “Wahai Nabi Musa a.s., inilah saat kita berpisah sesuai dengan janji Anda yang terakhir. Cukup sudah saya memberi Anda kesempatan dan dispensasi. Namun, sebelum kita berpisah, akan saya jelaskan kepada Anda maksud serta alasan dari perbuatan-perbuatan yang saya lakukan yang Anda rasakan tidak wajar dan kurang pantas dilakukan.”
Penjelasan tentang Ilmu Ladunni
Dari paparan panjang di atas, sebagai intisari persoalan yang tidak diketahui dalam ilmu (dengan pendekatan rasional Nabi Musa a.s.), yang tak lain sebenarnya persoalan yang dihadapinya adalah ilmu ladunni (ilmu yang diilhamkan langsung dari Sang Maha Pemberi Ilmu), dapatlah disampaikan penjelasan kerangka ilmu yang dapat dibaca dari Kisah Nabi Musa dan al-Khidir sbb ini.
“Baiklah kalau begitu Anda ketahui Nabi Musa,” lanjut al-Khidhir, ”Pertama, bahwa perusakan perahu yang kita naiki itu adalah dimaksudkan untuk menyelamatkan perahu itu dari ulah perampok yang aktivitas perampasannya itu dikendalikan di bawah tangan seorang raja zhalim yang tidak jauh berada di belakang perjalanan perahu yang kita kendarai itu. Sedang bahtera itu adalah milik orang-orang miskin yang digunakan sebagai sarana mencari nafkah bagi hidup mereka sehari-hari. Dengan cara melubangi seperti yang saya lakukan itu, si raja yang zhalim itu akan berfikir dua kali untuk merampas bahtera itu karena perahu itu dianggapnya rusak seperti tampak berlubang itu. Maka perbuatan saya yang pada lahirnya adalah pengrusakan milik orang, namun maksudnya ialah menyelamatkannya dari tindakan perampasan sewenang-wenang dari perampokan itu.”
“Kedua, adapun tentang anak yang aku bunuh itu ialah bertujuan menyelamatkan kedua orang tuanya dari gangguan anak yang durhaka itu. Kedua orang tua anak itu adalah orang-orang yang mukmin, soleh dan bertakwa yang aku khawatirkan akan menjadi tersesat dan melakukan hal-hal yang buruk karena dorongan anaknya yang durhaka itu. Aku harapkan dengan matinya anak itu Allah akan mengurniai anak pengganti yang soleh dan berbakti kepada mereka berdua.”
Sedang ketiga, mengenai dinding rumah yang ku perbaiki dan ku tegakkan kembali itu adalah karena dibawahnya terpendam harta peninggalan milik dua orang anak yatim piatu. Ayah mereka adalah orang yang soleh ahli ibadah dan Allah menghendaki bahwa warisan yang ditinggalkan untuk kedua anaknya itu sampai ketangan mereka selamat dan utuh bila mereka sudah mencapai dewasanya, sebagai rahmat dari Tuhan serta ganjaran bagi ayah mereka yang soleh dan bertakwa itu.”
“Demikianlah wahai Musa, apa yang ingin engkau ketahui tentang tujuan tindakan-tindakanku yang sepintas lalu engkau anggap buruk dan melanggar hukum. Semuanya itu telah kulakukan bukan atas kehendakku sendiri tetapi atas tuntunan wahyu Allah kepadaku.”
Demikian kisah Nabi Musa a.s. dan al-Khidir ini dapat dibaca dalam surah Al-Kahfi ayat 60 sehingga ayat 82 yang, semoga bermanfaat adanya (Erfan Soebahar).