Bersekolah Dasar, SD dan MI Tahun 1960-an

Pada zaman saya dulu, memasuki sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah sudah mudah. Pada tahun 1963 itu bersekolah adalah relatif mudah, tidak seperti di zaman penjajahan di mana ayah dan ibu saya menceritakan hal itu di hadapan putera-puterinya, kakak dan adik-adik saya.

Saya masuk sekolah ketika itu atas kemauan sendiri, setelah diyakinkan oleh kakak kandungku Muhashshonah. Ketika itu kalau pagi, saya suka menumpuk dan menata pasir dan juga mencorat-coreti tanah yang ada di depan rumah. Saya biasa menulis semau saya, mencoret versi apapun yang mau saya coreti. Dilalah, ayah dan ibu saya membiarkan saya suka menulis apapun ketika itu. Sebab, kalau tidak, saya sukanya di dekat ibu, menemani ibu memasak, dan membuat macam-macam acara di rumah.

Pada saat saya hampir memasuki 7 tahun, kata Ibu, saya diajak bersekolah oleh Mbak Has, kakak kandung saya ke sekolah dasar yang ada di Desa Tangsil Kulon, Tenggarang, Bondowoso. SD di desa saya ketika itu hanya hingga kelas tiga. Jika sudah selesai kelas tiga, para murid bisa melanjutkan ke kelas empat sampai kelas enam, di SD Tenggarang sana.

Kalau di desa saya, SD bisa cukup dengan berjalan kaki menuju sekolah sejauh 600 meter, alias setengah keloan dari rumah, namun untuk kelanjutannya di SD Tenggarang Bondowoso, mesti menempuh jarak perjalanan 2,5 km. Jadi pulang pergi 5 km.

20140126_143918-1

 

Foto MI Bahrul Ulum sebelum direnovasi

Sedangkan sekolah MI, paling dekat, sebab ia dibangun oleh ayah saya di belakang mushalla, dan ayah sendiri yang menjadi gurunya dari kelas 1-4, lalu kelas 4-6. Untuk Ayah, saya tak mudah melupakan perjuangannya. Karena beliau punya tekad kuat untuk memintarkan masyarakat, sedang untuk memintarkan masyarakat, beliau benar-benar memacu puteranya sendiri dulu. Sepertinya, untuk tugasnya Ayah tidak kenal lelah, paginya hingga siang beliau tugas di Departemen Agama, Kemenag sekarang, sedang sorenya beliau mengajar di MI.

MI ini sekarang, sudah direnovasi, yang ditahun 2014 sudah lengkap dengan sebuah rusunawa.

Bersekolah dengan berjalan kaki adalah trend di masaku, sedang naik sepeda adalah istimewa. Maka ketika sekolah di SD berjalan kakilah aku dari rumah bersama kakakku. Sering, kalau berangkat sekolah aku berjalan cepet-cepetan. Maklum, ketika itu jika bersekolah tidak usah susah-susah bawa buku dan pensil atau bolpoin. Bukunya waktu itu berupa batu tulis, disebut lei, menulisnya memakai grep, yaitu alat tulis seperti pensil. Prestasi dalam tugas ketika itu dinilai dengan menggunakan kapur tulis, langsung dituliskan di batu tulis itu. Makanya untuk mengabadikan prestasi itu, rata-rata kawan menempelkan hasil nilai guru yang menggunakan kapur itu ke pipi. Ya ke pipi masing-masing kita, para murid waktu itu. Lebih-lebih jika nilainya dapat 8 atau sepuluh, dengan penuh bangga kita aturkan pipi kita ke ayah atau ibu, agar dilihat atau di sayang.

Pelajaran yang aku suka ketika SD adalah Bahasa Indonesia, lalu berhitung, serta menyanyi. Itu pelajaran yang kemana-mana aku ingat. Pak guru Susmono adalah guru bahasa kami dan berhitung, sedang Pak Djaelani SU, adalah guruku dan idolaku dalam hal tarik suara.

Sedangkan pelajaran di MI, yang aku diajar sorenya oleh ayah, yang paling aku suka Alqur’an, bahasa Arab: i’lal, i’rab, hadis, fiqih, dan qiraah. Karena ayah adalah sangat jago di empat bidang ini.

Aku senang dapat sekolah rangkap pada pagi dan sore ketika itu. Aku banyak kawan, banyak kenalan, dan di suka ayah. Karena aku dan kakakku  sama rajin. Yang berat di rasa saat itu, tapi itulah yang kuingat sampai sekarang adalah pelajaran hafalan. Sebab kalau tidak hafal, kita diberi sanksi yaitu, bisa diganjar dengan dipenjalin, hehe….

Demikian aku jalani sekolah SD di desaku sampai kelas empat. Lalu dilanjutkan di SD Tenggarang kelas 4-6nya, sementara MI sampai kelas enam, aku tempuh di desa sendiri. Gurunya ayahku, KH. Moh Soebahar, Almaghfurlah.

Saya tidak begitu sadar hingga di bangku perguruan tinggi kenapa ayah memacuku untuk suka berjalan, dan beliau dalam suasana penjajahan sehari-harinya berjalan. Terkadang dalam radius 15 km setiap hari.

Yang sangat menonjol dari ayah, daya ingatnya sangat kuat. Nalarnya di atas rata-rata kawan pondok dan kolega sekantor beliau.

Belakangan ada kabar, bahwa kebiasaan berjalan itu dapat menghasilkan cairan yang dapat memacu kerja hebat otak, yang bernama miliin. Bagaimana, apa kita sehari-hari masih suka berjalan kaki? (Erfan S)

1075

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *