Kisah Nabi Musa dan al-Khidir: Perjalanan Mencari Ilmu Ladunni (1)

Nabi Musa ‘a.s. dan Hamba Allah al-Khidir adalah dua tokoh zaman yang terus diburu kisahnya. Sebab Nabi Musa adalah seorang Nabi yang kisahnya begitu lengkap dengan segala kelebihannya, sejak masa bayi, remaja, hingga masa dewasa serta masa kenabian. Sulit dicari kurangnya, sehingga pantas jika dalam kelengkapan kisah itu, seseorang bertanya kepada Nabi Musa a.s., apakah di dunia ini ada orang yang lebih ‘alim atau lebih hebat ilmunya dibanding dengan Nabi Musa a.s. pada masanya? Selain pertanyaan itu  dipertanyakan di antara kaumnya, ada yang paling menyentak persoalan tatkala pertanyaan yang serupa langsung diajukan ke hadapan Nabi Musa a.s. oleh salah seorang dari kaumnya.

Padahal, yang namanya manusia, walau memiliki sejumlah kelebihan, tentu juga akan memiliki kekurangan. Tatkala kepada Nabi Musa a.s. dipertanyakan apakah pada masa Nabi Musa a.s. saat itu ada hamba Allah Swt yang memiliki ilmu pengetahuan dan kehebatan ilmu di atas Nabi Musa a.s.? Nabi Musa a.s. dalam kesempatan itu spontan memberi jawaban, “tidak ada.” Artinya tidak ada orang yang memiliki padanan ilmu di atasnya, tetapi diungkapkan dengan nada jauh dari tawadhu, yaitu bernada nada sombong. Padahal dalam agama, sombong atau takabbur (al-Mutakabbir) adalah sifat Allah Swt bukan sifat makhluk.

Maka dalam konteks itu, Nabi Musa a.s. ditegor oleh Allah Swt, bahwa sebenarnya ada juga seorang hamba Allah, yang disebut-sebut dengan nama al-Khidir, dialah yang memiliki ilmu di atas Nabi Musa a.s.

Nah, atas tegoran Allah Swt itu Nabi Musa a.s. termotivasi untuk belajar ilmu kepada Sang Guru al-Khidir. Sebutan al-Khidir dijelaskan dalam banyak tafsiran. Ada yang menyebut ungkapan hamba Allah itu adalah seorang hamba Allah yang shalih, ada yang menyebutnya dengan Nabi Khidir, dan beberapa sebutan lain. Pada tulisan ini, untuk memudahkan dialog, saya menyebutnya dengan al-Khidir, atau sekali-sekali dengan Nabi Khidir, sehingga dialog cerita terasa lancar.

 

Teks Al-Qur’an Surah Al-Kahfi/18 ayat 60-82

 Kisah yang dimulai dengan ayat 60 yaitu,

 وإذ قال موسى لفتاه لا أبرح حتى أبلغ مجمع البحرين أو أمضي حقبا

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada murid/pendampingnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. Kemudian

diakhiri dengan وأما الجدار فكان لغلامين يتيمين في المدينة وكان تحته كنز لهما وكان أبوهما صالحا فأراد ربك أن يبلغا أشدهما ويستخرجا كنزهما رحمة من ربك وما فعلته عن أمري ذلك تأويل ما لم تسطع عليه صبرا

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

 

Paparan Kisah

Rasa sombong atau takabbur tentang keunggulan diri yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa a.s., mendapat tegoran Allah Swt.  Nabi Musa a.s. diperingatkan, bahwa ilmu itu adalah luas untuk dimiliki  seseorang walaupun ia adalah rasul, dan bahwa bagaimana pun luas ilmu seseorang, tetap terdapat orang lain yang lebih pandai dan lebih alim darinya.

Dan untuk mengatasi kekurangan pada diri Nabi Musa a.s. Allah memerintahkan beliau agar menemui seorang hamba Allah yang ada di suatu tempat, yaitu di pertemuan antara dua lautan. Hamba saleh yang telah dianugerahi rahmat dan ilmu Allah Swt itu akan memberi tambahan ilmu kepada Nabi Musa a.s. sehingga dapat menyadari bahwa tiada manusia yang dapat membanggakan diri dengan berkata, bahwa akulah orang yang terpandai dan berpengetahuan luas di atas bumi ini.

Berujar mohon izin Nabi Musa a.s. kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku, aku akan pergi mencari hamba-Mu yang saleh itu, untuk memperoleh ilmunya pengetahuan dan ilham yang Engkau telah berikan kepadanya.”

Allah berfirman kepada Nabi Musa a.s. : “Bawalah bekal makanan termasuk lauk ikan yang sudah dimasak dalam sebuah tas perjalanan mencari al-Khidir dan ketahuilah bahwa di tempat engkau kehilangan ikan di dalam tas berisi bekal itu, di situ engkau akan menemui hamba-Ku yang saleh itu.”

Nabi Musa a.s. menyiapkan diri untuk perjalanan jauh, didampingi oleh “Yusya’ bin Nun” seorang dari para pengikutnya yang setia. Ia membawa bekal makanan dan minuman di tas yang berisi makanan dan ikan sesuai petunjuk Allah. Nabi Musa a.s. bertekad, tidak akan kembali sebelum dapat menemui hamba saleh itu walaupun harus melakukan perjalanan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beliau berpesan kepada pendamping seperjalanan, Yusya’ bin Nun, agar segera memberitahu kepada Nabi Musa a.s. bilamana ikan yang di dalam keranjang yang dibawanya itu nantinya hilang.

Tatkala Nabi Musa a.s. serta Yusya’ bin Nun sampai di pertemuan dua lautan, yang telah diisyaratkan dalam firman Allah kepadanya, keduanya terasa sangat letih. Nabi Musa a.s. tartidur nyenyak di atas batu besar yang berada di tepi laut. Pada saat Musa tidur nyenyak itu, Yusak merasakan hujan turun rintik-rintik, yang membasahi ikan yang ada di dalam tas bekal; dan tanpa diketahui Musa tetapi diketahui oleh Yusya bin Nun, yang sempat dibuat tercengang atas kejadian itu, melompatlah ikan tersebut itu, lalu ikan masuk ke laut.

Setelah Musa a.s. terjaga dari tidur, bangkitlah kedua mereka lalu meneruskan perjalanan ke arah yang dituju, yaitu tempat bertemunya dua lautan. Dan dalam perjalanan yang agak jauh, berhentilah Musa a.s. beristirahat untuk menghilangkan penat, seraya meminta Yusya bin Nun untuk menyiapkan santapan karena mereka sudah terasa lapar. Ketika Yusya bin Nun membuka tas yang berisi bekal perjalan, teringatla dirinya di saat ikan yang sudah dimasak itu hilang dan melompat ke laut, pada waktu Nabi Musa a.s. tertidur nyenyak.
Maka berkatalah Yusya’ kepada Nabi Musa a.s.: “Saya telah dilupakan oleh setan untuk memberitahu kepada Nabi ketika kejadian, bahwa tatkala Nabi istirahat tertidur nyenyak di atas batu, ikan kita yang berada di dalam tas bekal tiba-tiba hidup kembali setelah basah terkena air hujan, ikan itu melompat masuk ke dalam laut. Mestinya ketika itu saya melaporkan kejadian ketika itu kepada Nabi Musa a.s. dengan segera, sesuai dengan arahan, akan tetapi saya dilupakan oleh setan.”

Wajah Nabi Musa a.s. berseri-seri, mendengar berita dari Yusya’, karena beliau merasa dapat mengetahui di mana beliau akan bertemu dengan hamba Allah yang beliau cari itu. Berkata Nabi Musa a.s. kepada Yusya’: “Itulah yang kamu ceritakan tempat yang kita tuju dan di situ kita akan menemui orang yang kita cari. Marilah kita kembali ke batu tempat kita istirahat itu yang akan menjadi tempat tujuan dari perjalanan jauh yang kita tempuh ini.”

Setiba mereka kembali di tempat yang kehilangan ikannya itu, mereka melihat sosok bertubuh sedang yang di wajahnya tampak cahaya dan tanda-tanda orang yang saleh. Beliau sedang mengenakan pakaian, yang segera disingkap ketika mendengar ucapan salam Nabi Musa a.s. kepadanya.

“Siapakah Anda?” bertanya Hamba Allah yang saleh itu. Nabi Musa a.s. menjawab: “Saya adalah Musa.”

Bertanya kembali Hamba Allah yang saleh itu, “Musa, Nabinya kaum Bani Isra’il?”
“Betul”, jawab Musa, seraya juga bertanya: “Dari manakah Anda mengetahui bahwa saya adalah Nabinya kaum Bani Isra’il?”
“Dari Yang Mengutus Anda kepada saya”, jawab Hamba Allah yang saleh itu.
“Inilah hamba Allah yang aku cari”, krentek Musa a.s. di dalam hatinya, seraya mendekatnya menyampaikan ungkapan maksud kepadanya: “Dapatkah Anda memperkenankan saya mengikuti Anda dan berjalan bersama Anda ke mana saja Anda pergi, sebagai yang Anda bayangkan dan sebagai murid Anda? Saya siap untuk mematuhi segala petunjuk dan perintah Anda.”

Hamba yang saleh, yang menurut banyak pendapat mufassir disebut Nabi al-Khidhir, itu menjawab: “Engkau tidak akan sabar dan tidak akan dapat menahan diri bila Anda mengikuti saya dan bepergian bersama saya. Anda akan mengalami dan melihat hal-hal ajaib yang sepintas tampak seakan perbuatan yang salah dan mungkar, namun pada hakikatnya itu adalah perbu-atan benar dan wajar sehingga Anda sebagai orang yang menyertai saya tidak akan bisa diam melihat aktivitas saya melakukan perbuatan dan tingkah laku yang ganjil menurut pandangan Anda itu.”

Nabi Musa a.s. menjawab dengan sikap sebagai seorang murid yang ingin belajar dan menambah ilmu: “Insya Allah Anda akan mendapati saya termasuk orang yang sabar, yang tidak akan melanggar suatu perintah atau petunjuk yang Anda sampaikan kepada saya.”

Berkata al-Khidhir kepada Nabi Musa a.s.: “JIka Anda benar-benar ingin mengikuti saya dan berjalan bersama saya, maka Anda harus berjanji dulu, tidak akan mendahului bertanya tentang sesuatu sebelum saya memberitahukan jawabnya kepada Anda. Dan Anda harus berjanji tidak akan menantang segala perbuatan dan tindakan yang saya lakukan di hadapan Anda walau menurut pandangan Anda itu salah dan terlihat mungkar. Saya dengan sendirinya akan memberi alasan dan tafsir bagi segala aktivitas dan perbuatan kepada Anda nanti pada akhir dari perjalanan kita berdua.”
Setelah diterima pesyaratan Nabi Khidir oleh Nabi Musa a.s. yang berjanji akan mematuhinya, maka diajaklah Nabi Musa a.s. mengikuti Nabi Khidir a.s. dalam perjalanan.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *