Pengalaman Dakwah di Australia
Di penghujung tahun hijri 1434, ada kunjungan yang patut disyukuri. Tanpa diduga, saya ditakdirkan berkunjung ke Australia. Tepatnya, ke negeri bagian Queensland yang beribukota Brisbane. Maksud pertama akan berangkat ke Mesir, namun karena kesulitan teknis dalam melaksanakan kunjungan, maka lalu diputar arah menjadi ke Australia.
Kalau sudah namanya takdir, rencana matang pun bisa jadi lain. Proposal sudah dibuat, bahkan sudah diseminar dengan baik. Eeh, solusinya berubah. Haluan yang diinginkan pada mulanya ke negera Mesir, jadinya ke negara sekuler namun yang menghormati Islam. Meskipun Australia dikenal sekuler, di negara ini pemerintah memberi dana bagi kegiatan agama sepanjang bukan untuk bisnis.
Pantas saja, di Australia, Islam yang jumlahnya masih di bawah tiga persen, dalam prak- tek cukup hangat. Sehangat negara yang rakyatnya tekun bekerja, dapat kaya, tapi liburnya memungkinkan bertemu seagama pada hari-hari seperti Sabtu dan hari Ahad. Penghuni Australia, selain penduduk Aburijin, juga orang-orang Eropa terutama Inggris, dan yang lain, didatangi oleh berbagai penduduk dunia baik untuk menambah ilmu dalam arti belajar atau kepentingan lainnya.
Di antara mereka yang datang ke Australia, adalah dari Saudi Arabia, Turki, Yaman, India, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Mereka yang kebanyakan beragama Islam, bisa bertemu dalam pelbagai kesempatan, terutama di waktu-waktu siang seperti ketika wak tu salat zhuhur dan waktu salat ashar. Di kampus, mereka dapat bertemu di ruang ibadah yang dikenal dengan gedung Multi Faith baik yang ada di Universitas Queensland maupun Universitas Griffith. Di tempat-tempat seperti itulah, diantara umat muslim bisa bertatap muka dan sekaligus berdialog, sejak mengenai studi, budaya antar bangsa, hingga ke soal-soal pelak- sanaaan kehidupan beragama di antara keluarga kita.
Suara Burung dan Suara Anjing
Begitu nikmat burung dan hewan jika hidup di negara Kanguru itu. Mereka begitu bebas terbang, turun di sekitar temat kita berjalan, duduk, mencari makanan di sekitar kita duduk, hingga ke sepatu yang kadang menginjak makanan, bisa saja burung-burung itu mematuknya. Begitu kita datang, mereka seakan menyapa, “Selamat datang tuan, saya bisa mencari makan sekitar anda bukan? Hehehe, bagus juga orang ini, ” sapanya.
“Okai,” begitulah jawab mereka dengan bahasa Inggris Australianya yang jika bicara banyak secara diseret-seret itu. Oke saja, dipermantap jadi okai.
Dialog harian manusia dengan sang burung sengat akrab, karena orang-orang bule ataupun yang bukan bule, tidak boleh mengusir, menembak, menyengsarakan burung di negeri ini. Burung jalak, burung gagak, burung gereja, begitu manja hidup di sekitar tempat kita. Ketika subuh, dan menjelang maghrib, selalu saja kita dengar burung-burung itu berbunyi. Mereka juga bertasbih, seperti umumnya manusia bertuhan.
Bagaimana dengan anjing? Anjing-anjing walau tidak sebebas kehidupan sang burung, namun pemeliharaan mereka memakan biaya yang mahal. Pemeliharaan anjing, di tuntut memeriksanya perbulan, untuk mengetahui anjingnya itu sehat apa tidak; mengidapenyakit anjing gila atau tidak.
Tidak bebas begitu saja si anjing ini berkeliaran. Sebab, setiap anjing itu bertugas taat atas peringtah tuannya, sehingga diberi makan mewah yang sering melebihi makanan dan biaya hidup bagi anak-anak dari pemilik anjing itu.
Jika suatu ketika, anjing yang diharapkan tenang di rumah menjaga bosnya, kok usil ia terlalu baik menjaga bosnya, sehingga ia misalnya menggigit orang lain, maka pemiliknya terkena denda karena ulah anjingnya itu. Jika terbukti yang meyakinkan bahwa yang digigit itu merasa dirugikan, maka pemillik anjing itu bisa terfkena denda sampai $ AUS 5.000,- Lima ratus dolar, alias Rp 55.000,000,- (lima puluh lima juta rupiah).
Suara Adzan dan Suara Anjing
Kadang saya pikir, benar juga gurau beberapa kawan. “Di sini, suara anjing itu banyak lebih terdengar daripada suara adzan,” celetuknya. Sebab, suara-suara pengeras suara bagi kegiatan apapun, termasuk aktivitas keagamaan, di negara ini, tidak boleh diteriakkan ke luar. Atau diperdengarkan dengan nyaring ke luar, seperti biasanya suara-suara adzan pada salat lima waktu dari masjid-masjid di Indonesia.
Sementara suara anjing, biasa berteriak-teriak sekuatnya. Tidak hanya lima kali dalam sehari. Bisa jadi hingga puluhan kali, tergantung tuannya sedang ada kontak apa dengan dunia sekitarnya.
Namun, sekalipun tidak banyak terdengar suara adzan, penganut agama dibolehkan adzan di seputar ruang ibadah kita, seperti dalam mushalla atau masjid. Di Brisbane, ternyata ada juga masjid. Di situ, adzan bisa dikumandangkan, dan Al-Qur’an juga dibaca, dengan tanpa meneriakkan suaranya ke luar masjid atau mushalla.
Khatib Jum’at dan Khataman al-Qur’an
Khutbah Jum’at di Australia, sama dengan di tempat kita. Sama dilakukan di waktu zhuhur. Hanya saja, di sini biasa dilakukan di sekitar pukul 13.15-13.30. Catatan khut- bahnya kadang unik dan terasa trendi. Bagi kalangan mahasiswa, dengan khatib dari mahasiswa S3 Saudi Arabia misalnya, mereka berkhutbah dengan sesekali melihat hp. Naskah khutbah sudah dikuasai, sehingga dimana perlu, dilihatnya hp, sehingga kontaks dengan jamaah bisa dilihat di setiap waktu.
Di dalam kampus, mahasiswa Islam yang cukup memilili dana, sering seminggu sekali membagi-bagi makanan dan minuman kepada mahasiswa lain. Selain melakukan dakwah bil lisan, mereka melakukan dakwah bil hal. Beberapa dos makanan dan minuman, sering dibagi-bagi pada hari tertentu, seperti pada hari Rabu, di depan Building 14. Bangunan tempat banyak mahasiswa dari berbagai negara berkumpul dan bertemu dengan sesamanya setiap hari.
Untuk banyak muslim di pelbagai kesempatan, ketika akan masuk waktu-waktu salat, mereka suka membaca Al-Qur’an baik dari rak yang sudah tersedia, maupun dari HP dan Tablet yang mereka miliki. Bahkan, untuk para jamaah dari Indonesia, atau student Indonesia yang ada di Australia, mereka biasa membagi juz-juz untuk dikhatamkan. Dan dikhatamkan bersama sebulan sekali dari “Ad-Dhuha sampai an-Nas,” dalam pertemuan yang diadakan secara bergilir dari tempat ke tempat sebulan sekali.
Misalnya, pada pertemuan di hari Ahad, 27 Oktober 2013 yang lalu, mereka mengundang saya dan Prof Amin Syukur untuk menjadi Penceramah atau Narasumber, yang setelah itu mereka iringi dengan tanya jawab dan diskusi. Lalu ditutup dengan doa Al-Qur’an serta ramah tamah.
Acara yang terakhir ini begitu semarak. Sebab para undangan sering datang lengkap dengan istri dan putera-puterinya, dengan menyiapkan makan sendiri-sendiri. Yang bisa buat kue dengan kuenya; yang bisa buat es teler dengan keahlian itu; yang bisa nasi uduk dengan kemahiran uduknya; yang bisa bakso — wah ini yang menjadi favoritnya — mengeluarkan baksonya. Minumannya, susu plus es teler, yang sangat digemari kawan- kawan Indonesia, karena minuman susu begitu tersedia cukup di Brisbane.
Salam Tempel, Anda Mau?
Ketika berdakwah, di Australia tidak biasa disalam-salami tempel. Di sini tidak lazim, muballigh disalami dengan tempelan amplop berisi rupiahan atau lembaran dolar. Karena muballigh umumnya sudah siap dengan usahanya untuk tidak mengharap-harap dapat- nya tempelan dari dana dakwahnya.
Maka sebagai kompensasinya, biasanya para da’i ditempeli dengan yang lebih besar dari sekadar salam tempel. Bisa berupa daharan dengan sebanyak-banyaknya suguhan; juga bisa berupa hadiah jaket, atau lainnya sebagai pengerat tali persaudaraan di antara kita. Anda juga ingin berdakwah ke Brisbane? Silakan (Erfan Soebahar)