Perjalanan Mudik dan Fenomena Meletus Gunung Raung
Acara mudik Idul Fitri pada tahun 2015 ini, berjalan lancar, walau ada suasana Gunung Raung Meletus. Saya sekeluarga, setelah salat Idul Fitri di Kampus I UIN Walisongo, lalu langsung menerima tamu warga masyarakat Beringin RT 02 RW 06, dari 7.30 sampai pukul 11.15. Acaranya lebih singkat, maklum pada hari raya tahun ini bertemapatan dengan hari Jum’at, sehingga acara kita terutama kaum Adam kebanyakan double, yaitu melaksanakan shalat Idul Fitri sekaligus shalat Jum’at. Baru setelah salat Jum’at, tepatnya pukul 13.30, saya berangkat mudik ke Kota Bondosowo. Perjalanan menempuh jarak sejauh 526 km. Jika lancar, biasa ditempuh dalam waktu 12-14 jam, tapi jika tidak bisa banyak molornya hingga beberapa jam.
Dalam acara mudik keluarga pada tahun ini, saya tetap siap untuk menjadi supir terutama di malam hari, sedang supir yang siap dari orang muda adalah Mas Whildan Zainuddin M.Si, anak menantu, dan nanda Norannabiela, yang sebentar lagi sedang siap menyelesaikan magisternya di UNDIP Semarang. Para supir ini, sama siap untuk mengantar penumpang minibus, Innova 2.000 cc, yang terdiri dari 7 orang dewasa dan 4 orang cucu — Rubik, Maria, Ladia, dan Saifullah — semuanya 11 orang, yang kali ini bersama mudik ke Bondowoso menyusuri Pantai Utara Pulau Jawa yang dikenal sebutan Pantura.
Bondowoso dan Penomena Gunung Raung
Mudik pada tahun 2015 ini, langsung diarahkan ke orang tua saya dulu, di Bondowoso. Tepatnya, semua peserta mudik sama menujukan diri ke Bondowoso. Tepatnya, ke Desa Tangsil Kulon, Tenggarang, Bondowoso, Jawa Timur. Empat setengah kelometer (4,5 km) dari Kota Bondowoso. Bagi yang perlu tahu dengan lebih yakin, bahwa kota Bondowoso adalah kota yang terletak antara Jember dan Situbondo, ke Jember sekitar 30 km, dan ke Situbondo juga sekitar 30 km. Jika dihubungkan dengan Gunung Raung, maka gunung tersebut berada di wilayah Bondowoso, Jember, dan Banyuangi. Desa Telaga dan Sukosari adalah tempat yang sangat dekat dengan gunung yang tingginya 3.332/3.344 meter itu, yakni gunung tertinggi kedua setelah Gunung Semeru yang 3.700 san meter itu. Sejak 19 Juli 2015 menyemburkan debu ke utara dan barat, dan pada 21 Juli 2015 menyemburkan debunya ke Jember. Pada saat saya mudik ke Bondowoso, 18-19, debu di daerah saya tidak begitu tebal, rata2 dalam hitungan kurang dari setengah centimeter.
Gunung Raung (puncak tertinggi: 3.344 m dpl) adalah gunung berapi kerucut yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, Indonesia. Secara administratif, kawasan gunung ini termasuk wilayah 3 kabupaten di wilayah Besuki, Jawa Timur yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember.
Secara geografis, lokasi gunung ini berada dalam kawasan kompleksPegunungan Ijen dan menjadi puncak tertinggi dari gugusan pegunungan tersebut. Dihitung dari titik tertinggi, Gunung Raung merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Timur setelah Gunung Semeru, serta menjadi yang tertinggi keempat di Pulau Jawa. Kaldera Gunung Raung juga merupakan kaldera kering yang terbesar di Pulau Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Gunung Tambora diNusa Tenggara Barat.
Kebetulan, saat mudik ke Bondowoso ini bersamaan dengan saat Gunung Raung meletus. Beberapa hari menjelang hari raya, Gunung Raung meletus, dan menebarkan debunya ke pelbagai tempat. Padahal, selama puluhan tahun ini gunung tersebut tidak pernah meletus, dan baru meletus pada tahun 2015 ini. Letak Gunung Raung adalah antara kota Bondowoso dan Banyuwangi, sehingga walaupun tipis debu tetap terlihat di lantai, rumah, badan mobil, dan semua yang lalu lalang di Kota Bondowoso. Dari kota Bondowoso, gunung ini terletak sekitar 20 km dari kota Bondowoso.
Ke Keluarga Bani Kiai Subahar
Di Bondowoso, acara mudik langsung kami arahkan ke Sungkeman kepada Ibu, baru kemudian para Paklik dan Bulik dari Keluarga Bapak dan Ibu. Ibu kami Nyai Hj Badriyah, masih sehat, sudah berusia 84 tahun, sementara adik kandungnya, Bulik Dra Wuryati, berusia 81 tahun. Setelah bersalaman dengan Ibu, dan sarapan pagi, maka silaturahmi diarahkan kepada Paklik H. Baidhawi Tangsil Kulon, lalu Paklik H As’ad Tangsil Wetan, baru ke Kakan Kandung, Hj. Muhashshonah di Wonosari, baru malam harinya diarahkan ke Bulik Wuryani A. Isnain di Blindungan Bondowoso.
Keesokan harinya, kami menyempatkan ke Yu Mari dan Mak Hadi. Yu mari adalah…. dan Mak Hadi adalah … Siap pulang ke Semarang. Naily saya lepas di Surabaya
PP Melalui Gresik Sedayu
Kami pulang pergi melalui Sedayu. Sempat istirahat di Masjid Kota Tuban. Pulangnya juga istirahat di Tuban, lalu bermalam di Hotel Malindo, baru mengikuti acara Halal Bihalal Bani Chamid di Lasem, saya mengambil topik diminta ceramah, dan saya mengambil topik “Tauhid dan Kehidupan Sosial yang Bermasa Depan”
Sorenya, kami menyempatkan diri ke Mbak Datik di Kauman Menara, dan pada pukul 5.20 silaturahmi ke Mas Drs Pepen Rifa’i, baru pulang ke Semarang.