Menebar Gagasan di Aktivitas Akademik dan Pengabdian (1)
Menebar gagasan adalah bagian dari tugas yang sudah saya lakukan sejak 1981. Persisnya setahun setelah saya memperoleh gelar BA, Bacheler of Arts, sarjana muda di IAIN (UIN) Walisongo Semarang. Pada tahun itu, saya sudah duduk di tingkat doktoral, yang ketika itu ditantang untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah di Ditpertais Jakarta. Pada saat-saat itu, tekat untuk menulis secara formal, sudah benar-benar tumbuh, sekalipun belum didukung dengan embel-embel program untuk dilakukan secara formal dan pelaksanaannya secara reguler. Dalam bentuk karya buku, pada tahun 1981 sudah dapat diterbitkan sebuah buku saya pertama yang berjudul “Salat Jum’at Sebagai Sarana Pembinaan Masyarakat.”
Benih Senang Menulis
Manakala senang menulis, sudah saya meliki sejak duduk sekolah dasar kelas lima, yaitu tatkala sekolah dasar saya ketika itu dipimpin oleh kepala yang suka menyanyi, disiplin belajar bagus, dan guru yang menguasai ilmu bagus. Melalui kesukaan menyanyi, banyak hal yang mudah dihafal di luar kepala secara dilagukan, dan bahasa Indonesia bisa tumbuh kata demi kata secara baik. Dengan disiplin belajar, maka banyak ilmu yang dikuasai. Yang di masa saya sekolah kelas lima dulu, sekian banyak ilmu itu cukup dikategorikan kepada tiga bidang ilmu yaitu (1) bahasa Indonesia, (2) Pengetahuan Alam, dan (3) Pengetahuan Umum. Dengan kategori yang tiga macam ini, yang mendukung kebutuhan kepengarangan sudah memadahi. Kosa katapun sudah mulai tumbuh, yang ditambah lagi oleh guru kami Pak Susmono, kita sering dilatih untuk mengarang. Maka pada kelas lima dan kelas enam, kepengarangan saya sudah mulai tumbuh.
Dengan banyak latihan, maka tidaklah aneh jika pada akhir kelulusan saya, saya memperoleh nilai 10 untuk bahasa Indoesia; 9,8 untuk pengetahuan umum; dan 9,7 untuk pengatahuan alam. Ketiga kelompok ilmu yang diperoleh itu tentu dapat ditulis kapanpun berkat latihan banyak pengarang dengan menggunakan bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia.
Masa SLTP dan SLTA di Lisan
Sayang pada masa di bangku SLTP dan SLTA, ketika itu bahasa Indonesia, kurang padu dengan ilmu yang diperoleh. Dalam memberikan pelajaran, guru-guru ketika itu banyak berorientasi kepada penguasaan ilmu secara membaca bersuara dan hafalan. Nilai tinggi, dengan tidak cukup latihan, selalu saya dipompakan oleh para guru kami ketika itu, yang diutamakan dengan belajar melalui penguasaan ilmu di kelas. Dengan bekal suara yang dipandang cukup bagus dibanding kawan-kawan sekelas, saya pada dua peringkat sekolah ini sering ditunjuk tampil menyanyi oleh guru-guru kami, yang bisasanya diakhiri dengan tepuk tangan bersama, atas perintah bapak dan ibu guru kami.
Kesenangan kami dalam paduan suara, menyanyi, bertemu dengan kesukaan ayahku Kiai Subahar dalam seni-seni islam, terutama Qiraatul Qur’an dan membaca Barzanji dan Yanabiyah. Jadi, sekolah kami di SLTP dan SLTA sering bertemu dengan apa yang ada di rumah kami. Kemampuan belajar seni, termasuk seni pidato ketika itu banyak kita alami pada masa berada di bangku sekolah menengah pertama dan menengan atas, istilah dahulu.
Kondisi ketika itu, mendapat pupuk subur, tatkala kami di masa SLTA berada di PP Al-Fattah Jember, yang pada setiap minggunya ada dua simaan. Yaitu, simaan membaca kitab di bawah asuhan Kiai Dhofir Salam Jember; dan simaan pidato yang selalu diadakan di setiap malam Jum’at yang diwajibkan diikuti dan diisi oleh pengurus wilayah di pondok kami.
Wajib Paper Sejak Awal Semester
Di kampus IAIN ada dua hal yang dipandang wajib sejak awal kuliah. Wajib bisa menulis paper mata kuliah dan wajib menguasai ilmu ritorika/pidato, yang diimbangi wajib lulus ilmu sosiologi dan psychologi sosial. Sekalipun kewajiban ini hanya pada setiap semester, namun kewajiban ini ikut memacu para mahasiswa untuk bisa menulis dan sekaligus melek dengan pendekatan kepenulisan.
Bapak Drs. H. Rachmat Djatnika dan Bapak H. Achmad Zawawi adalah dua dosen saya yang mengajarkan kepada kami menulis dan bersemangat untuk bisa menulis. Dengan Pak Rachmat, saya pernah menulis dengan judul: Kaidah-Kaidah Pegangan dalam Hal-Hal Akidah, Ibadah, dan Mu’amalah. Sedang dengan Bapak Kiai Zawawi, saya dibimbing menulis “Problema Mandi Jinabah”. Tidak terlalu banyak lembaran yang diwajibkan untuk ditulis, hanya sekitar 15-30 halaman. Kedua pengalaman ini pernah kami terima ketika dulu, saya kulian di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Ketika di IAIN Walisongo Semarang, tempaan mengarang banyak kami alami dengan dosen Bapak Drs. Suadri yang membuahkan, “Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Dunia Modern”. Bapak Drs. Kholil Rahman, dengan “Shighat Taklik Talak, Benarkah Masih Diperlukan Pada Masa Kini?”. Serta “Problema Pengukuhan atas Keputusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri: Suatu Analisis dari Sudut Maslahah Mursalah.” dalam bimbingan Bapak Dumami, SH dan Bapak Drs. K.H. Syamsuddin Anwar.
Wajib menulis paper hingga membawa bisanya kami menulis Risalah dan Skripsi, adalah kewajiban yang memiliki dampak positif.
Dari tugas itu, yang pada dasarnya juga melatih kepada kami agar banyak membaca sebagian bagian dari kewajiban riset perpustakaan, maka kami — yang dalam organisasi ekstra juga beberapa kali ikut pelatihan jurnalistik — menjadikan kami juga berani menulis artikel di buletin dan koran. Di buletin kampus Aktualita, juga Sahabat, di antara yang dapat saya tulis adalah “Menyiapkan Persyarat Untuk Memperoleh Paspor, ” dan “Mereka yang Terasing Kandang Sendiri”. Sedang di Koran, antara lain Koran SUMI (Surabaya Minggu), menulis “Konsep Leadership Buat Mahasiswa”.
Semua itu, mengantar kepada kemampuan menulis, benih-benih yang membawa saya mulai menulis di masa-masa dahulu. Tentu itu belum dibagi-bagi secara ekstrim kepada ranah penulisan seperti yang kami lakukan pada masa-masa berikutnya (Erfan Subahar).