Mengenal Santri: Arti, Kepribadian dan Perilaku Santun

Pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 2018, kaum santri memasuki hari santri yang ketiga. Jika pada hari santri pertama dan kedua, dimana-mana diadakan upacaranya, maka pada hari santri ketiga kali ini upacaranya dilakukan di tempat masing-masing sesuai dengan kemampuan yang manfaat bagi lingkungannya. 

Pada kampus UIN Walisongo Semarang misalnya, di hari Senin ini tidak ada upacara khusus; di RRI Pro4 Semaang, hari ini saya tidak siaran, mungkin disejajarkan dengan hari libur bagi kalangan PNS  pada kesempatan hari santri saat ini. Banyak upacara diselenggarakan di luar kampus.

Peringatan hari santri kali ini, oleh website kita lebih diperingati sebagai upaya mengenalnya lebih dekat dengan menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu; (1) siapa sebenarnya yang dimaksud dengan santri itu? (2) seperti apa pola kepribadiannya? dan (3) apa saja kiprah riil kaum santri hingga mereka layak dikenang di NKRI?

 

Sosok Santri 

Sebutan santri banyak digunakan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, yang biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikan yang ditempuh selesai.  Jadi sebutan santri ada kaitan dengan orang yang hidupnya suka belajar berkaitan dengan pendi dikan agama Islam di tempat-tempat belajar, yang umumnya dilakukan di pesantren. Yaitu di tempat dimana di situ adalah pengajar agama Islam, yang lazim dikenal dengan kiai.

Dari sini jelas bahwa yang disebut santri tidak hanya yang berada di pondok pesantren (ponpes). Dia tidak hanya bagi orang yang berada di ponpes dan bisa mengaji kitab atau ahli agama, melainkan seperti banyak dijelaskan oleh para tokoh agama kita adalah orang yang ikut kiai dan setuju dengan pemikiran dan turut perjuangan kaum santri.

Bisa juga disebutkan, bahwa santri adalah orang yang ikut di luar itu, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tetapi dia ikut (manut) pada kiai. Jadi tradisi ikut pada penebaran pencerahan agama para kiai, walau da tidak bisa baca kitab, namun mengikuti perjuangannya maka disebutkan dia itu santri. 

Dari sudut keberadaannya, menurut Kiai Haji Makruf Amin, santri itu menyebar. Santri itu ada yang tinggal di pondok pesantren. Ada juga yang hanya sesekali ke pondok pesantren. Namun, ada juga yang sekali-sekali saja bertemunya antara kiai san satri.

Menurut penegasan Prof Said Agil Siroj, pokoknya santri adalah yang ikut kiailah. Sosoknya dapat mencakup hampir semua lapisan masyarakata. Dilihat dari sosoknya, para santri itu suka menerima Islam dan menyebarkannya dengan berbagai pendekatan. Misalnya dengan pendekatan budaya. Dia sehari-hari tampil berakhlak karimah, bergaul dengan sesama dengan baik serta juga menghormati budaya yang bernilai sejalan dengan norma-norma baik dan mengarah ke takwa. Dalam praktek, santri adalah orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan walisongo, sehingga dakwah itu terlihat manfaat dan lestari masuk dan diterima di hati atau mengukir hati. Tidak hanya menghias ucapan di bibir sedangkan dalam praktek masih jauh dari perilaku.

 

Kepribadian Santri

Banyak disebut mengenai kategori kepribadian santri baik yang sempit maupun yang luas. Masing- masing saling memperjelas tentang seperti apakah kepribadian santri itu. Dalam artian sempit, sebutan satri sering disebut secara kategorial oleh H. Lukman Saifuddin, menteri agama mencakup tiga, yaitu kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan. Sedangkan secara luas, santri itu disebut-sebut memiliki enam kepribadian, yatu (1) kepatuhan, (2) kemandirian, (3) keikhlasan, (4) kesederhanaan, (5) ; kebersamaan, dan (6) kekeluargaan. Selain itu, ada juga yang menyebutnya dengan dua tambahan lagi, misalnya (1) kecerdasan, dan (2) kedisiplinan. 

 

Kiprah Ilmu dan Akhlak Karimah

Ada dua hal penting yang mempermudah kita mengenal ciri khas dari siapa yang bisa disebut dengan sosok santri. Pertama, suka ngaji dan ikut jejak kiai. Umum diketahui bahwa jiwa santri itu tidak jemu-jemunya untuk terus ngaji dan terus membina diri. Karena kebutuhan zaman yang selalu berubah itu hanya dapat dijawab dengan selalu menambah imu, yaitu ilmu membuka kitab-kiab klasik, yang kemudian dijelaskan isinya dengan cara atau pendekatan yang mempermudah dalam aspek-aspek riil pengalamannya oleh para kiai, sehingga ilmu yang diperoleh membawa mudahnya santri menerjuni kehidupan nyata sehari-hari.

Kedua, berperilaku dengan akhlak karimah.  Jika secara ilmiah keilmuan itu dapat dilihat masa formalnya berapa tahun masa minimal kita menuntut atau mencarinya, maka untuk berperilaku dengan akhlak karimah, para santri tidak bisa ditentukan kapan berakhirnya mencari ilmu berperi laku yang memadai dari studi akhlak karimah. Nah, santri-santri memerlukan waktu atau masa lebih panjang masanya dari belajar ilmu, dan hal ini sama disadari oleh kalangan kaum santri dalam menjalani kehidupannya di jagat raya sekarang yang akan berdampak secara signifikan bagi kehidupan di alam kedua setelah kehidupan di alam dunia ini.

Dengan dua kiprah ini, karena aktivitasnya dilakukan di dalam suatu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan di Indonesia jualah kita ini menyantap makanan dan minum airnya, atau mengambil air wudu dan mandi, serta melakukan salat hingga mengadu nasib bagi kehidupan, maka ilmu dan prilaku kita tidak akan pernah lepas dari memikirkan dimana kita beraktivitas, berkiprah, serta apa yang mesti kita bela atau berpihak jika tempat aktivitas di tanah air ini mendapatkan ganguan dalam rangka stabilasnya. Maka di sinilah, NKRI menjadi tumpuan dan sekaligus harga mati bagi perjuangan para santri di Indonesia.

Selamat hari santri, semoga aktivitas kita lancar, sukses, berkah, dan selamat (Erfan Subahar).      

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *