Mengurai Damai dalam Beda: Teladan dari Rasulullah Saw

Perbedaan sering kali menjadi momok dalam kehidupan sosial. Padahal, sejatinya perbedaan adalah bagian dari keniscayaan hidup. Kita berbeda dalam warna kulit, bahasa, budaya, bahkan keyakinan. Tapi apakah perbedaan harus melahirkan permusuhan? Tidak. Islam, lewat teladan Rasulullah saw, justru menunjukkan bahwa harmoni bisa tumbuh subur di tengah keberagaman.

Perbedaan adalah Kehendak Ilahi

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (QS. Hud: 118)
Ayat ini dengan terang menyatakan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak-Nya. Artinya, perbedaan bukan musuh yang harus disingkirkan, tetapi realitas yang perlu dikelola dengan bijak. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, sikap ini sangat relevan.

Rasulullah saw: Figur Harmoni di Tengah Keragaman

Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan sebutan rahmatan lil ‘alamin — rahmat bagi seluruh alam. Ini bukan sekadar gelar, tetapi gambaran dari sikap hidup beliau yang penuh kasih, bijak, dan adil terhadap semua orang, bahkan yang berbeda keyakinan sekalipun.

Berikut tiga kisah nyata yang menunjukkan bagaimana Rasulullah saw mengelola perbedaan dengan sangat indah:

1. Piagam Madinah: Fondasi Hidup Berdampingan

Saat hijrah ke Madinah, Rasulullah saw menghadapi masyarakat yang sangat majemuk: kaum Muhajirin, Anshar, komunitas Yahudi, dan berbagai suku lainnya. Apa yang beliau lakukan? Bukan memaksakan satu cara pandang, tetapi menyusun Piagam Madinah, sebuah kesepakatan hidup bersama yang menegaskan hak dan kewajiban semua warga, tanpa memandang latar belakang.

Inilah bentuk nyata dari toleransi dan prinsip kesetaraan yang dijunjung tinggi dalam Islam.

2. Akhlak Luhur Mengalahkan Kebencian

Suatu hari, seorang wanita tua Yahudi yang kerap menghina Rasulullah saw justru dikunjungi beliau saat sakit. Tak ada balas dendam. Yang ada hanyalah doa dan kepedulian. Sontak, hati wanita itu luluh. Ia pun mengakui keluhuran akhlak sang Nabi.

Hikmahnya jelas: harmoni tidak dibangun dengan balas dendam, tetapi dengan akhlak dan kasih yang tulus.

3. Fathu Makkah: Puncak Pemaafan

Setelah bertahun-tahun mengalami tekanan dan kekerasan dari kaum Quraisy, Rasulullah saw akhirnya menaklukkan Makkah. Namun apa yang beliau lakukan? Alih-alih membalas, beliau berkata:

“Tidak ada celaan atas kalian hari ini. Pergilah, kalian bebas.”
Inilah puncak keagungan moral: memberi maaf saat posisi sedang di atas.

Tiga Pilar Menjaga Harmoni

Apa pelajaran penting dari keteladanan Rasulullah saw?

Toleransi – Hormati keyakinan dan pilihan hidup orang lain. Kita tidak harus setuju untuk bisa hidup damai bersama.
Akhlak Mulia – Jangan mudah menyakiti lewat lisan atau tindakan. Jadilah pribadi yang menenangkan, bukan yang menegangkan.
Memaafkan – Ketika disakiti, jangan buru-buru membalas. Kadang, maaf bisa mengubah segalanya.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk, meneladani Rasulullah saw sangat relevan. Toleransi, sopan santun, dan sikap saling menghormati adalah pilar utama agar kita tetap rukun di tengah perbedaan.

Rasulullah saw bersabda:

“Seorang Muslim adalah orang yang membuat Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. al-Bukhari & Muslim)
Ini bukan hanya anjuran moral, tapi tuntunan sosial. Kita diajak menjaga lidah dan tangan agar tidak menyakiti, karena dari situlah harmoni lahir.

Akhir kata, hidup berdampingan itu bukan sekadar pilihan, tapi keniscayaan. Rasulullah saw telah memberi kita contoh luar biasa bagaimana menjadi jembatan di tengah perbedaan. Mari kita warisi keteladanan itu: dengan toleransi, akhlak mulia, dan semangat memaafkan. Karena hanya dengan itulah, Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa menebar damai dan kebaikan di mana pun berada. Amin (Erfan Subahar).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *