Merawat Indonesia: Menjadi Negara yang Tangguh

Semarang kembali menggelar hal penting bagi Indonesia. Jika tiga tahunan lalu kota yang ada di pusar Jawa Tengah ini mendirikan apa yang dinamakan Petamas (     ), dan selama dua tahunan mengisinya dengan aktivitas penting, maka tahun ini Petamas hadir menggelar kegiatan di seputar ‘Bagaimana merawat NKRI ini menjadi negara yang tangguh’. Beberapa topik diangkat di bawah tema “Memperkokoh Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi,” Salah satu di antaranya menghadirkan makalah Prof. Erfan. Sekadar khawatir lupa, untuk melawan lupa sebuah topik di antaranya yang dibawa oleh Prof. Erfan dikutipkan berikut ini, untuk pembaca web kita.

PERANAN AGAMA  DALAM  MEMPERKOKOH

 KETAHANAN NASIONAL DI ERA GLOBALISASI

Oleh M. Erfan Soebahar

 

  

Pendahuluan

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang berkat rahmat, hidayah, dan pertolongan-Nya, kita dapat bertatap muka pada siang hari ini dalam acara Dialog Interaktif Peningkatan Ketahanan Bangsa bagi Masyarakat yang pada ke-sempatan ini bertema “Memperkokoh Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi.”

Acara dialog begitu jelas penting dalam kehidupan kolektif. Lebih-lebih dalam level kehidupan yang besar yaitu dalam bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Teristimewa, bagi negara yang memiliki penduduk plural, yang ketika mendirikan negara ini melalui sumpah setia, “Kami Bangsa Indonesia Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia, Berbangsa Satu Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa Indonesia.” Negara, Bangsa, dan Bahasa yang telah didirikan itu diproses dengan satu kesatuan tekad adalah satu, yaitu Indonesia.

Sungguh tepat jejak para pendahulu kita yang melakukan aktivitas berarti beberapa tahun menjelang kemerdekaan Indonesia. Mereka menapak kejuangan dengan menggalang tekad yang diiringi ikrar serius atau sumpah. Sebab sumpah pada hakikatnya memiliki nilai jangka panjang guna menjadi pengingat bahwa pada saatnya Negara Indonesia akan layak berdiri sejajar dengan negara-negara besar di dunia. Indikator besar itu jika ditelisik, tidak bisa ditutup-tutupi untuk dapat menjadi negara besar, yaitu:

(1) NKRI berdiri di wilayah luas yang tersusun dari gugusan sekitar 17.000-an pulau;

(2) Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pemersatu semua penduduk di Indonesia;

(3) Agama dalam NKRI punyai andil mewujudkan dan mengisi Kemerdekaan Negara;

(4) Indonesia bukan negara agama tetapi agama memiliki tempat bagi kehidupan NKRI.

 

 Agama dan Kedudukan Manusia

Berbicara agama saat ini saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai arti agama. Karena agama sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Kalau dari nalar kita sudah dapat dipahami bahwa agama itu berasal dari A yang berarti tidak dan Gama yang berarti kocar-kacir, yang memberi kepahaman bahwa hidup beragama berisi kehendak agar dalam kehidupan ini kita tidak kocar kacir. Maka pemahaman ini sudah berisi indikator bahwa agama sudah sama lekat dalam ingatan kita dan dalam kehidupan diri perorangan atau kolektif kita selaku penghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Dengan telah sama mengerti bahwa agama adalah “Tatanan hidup Ilahi yang mendorong pemilik akal dan pemilik ikhtiar, untuk dapat mewujudkan hidup maslahah dalam kehidupan sekarang dan dapat mewujudkan hidup bahagia di akhirat yang akan datang,” maka agama memiliki unsur-unsur yang menghidupkan perilaku dan sikap dalam hidup, setidaknya tidak kurang dari tiga unsur. Pertama, memiliki daya dorong untuk mengarahkan pemeluknya berpikir dan bertindak ke depan. Sebab agama itu mesti mendorong pemeluknya berperilaku maju. Kedua, memiliki ajaran yang menyiapkan para pemeluknya memperoleh maslahat dalam kehidupan yang sekarang dan kebahagiaan di masa akan datang. Ketiga, agama memiliki garis-garis pegangan hidup yang memiliki kedudukan bagi kehidupan, tak terkecuali kehidupan bernegara.

Menurut Al-Qur’an, manusia dalam hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan memili kedudukan penting. Kedudukan di sini yaitu suatu konsep yang menunjukkan adanya hubungan manusia dengan Allah dan dengan lingkungannya. Dalam konteks hubungan demikian, manusia menurut Al-Qur’an memiliki kedudukan penting, yaitu (1) sebagai khalifah, (2)  sebagai pembangun, dan (3) sebagai abdi Tuhan, masing-masing dapat dilihat berikut ini.

  • Manusia sebagai khalifah

Kedudukan manusia sebagai khalifah, dapat dipahami dari ungkapan Al-Qur’an Surah. Fathir: 39. Surah Fathir ayat 39 menyebutkan hubungan itu dengan Huwalladsi ja’alakum khalaifa fil-ardh ‘Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi’.

Ayat di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa manusia itu pertama, memiliki kedudukan sebagai khalifah di muka bumi ini. Dengan kedudukan khalifah, manusia ditantang hidup dalam suatu kepemimpinan. Sejak dari hidup dalam unit keluarga (ayah, ibu, anak; lalu diperluas ayah ibu mertua; lalu berketurunan lengkap beranak cucu beberapa keturunan); unit  warga atau kelurahan, kecamatan, negara dan antar negara. Kepemimpinan (khalifah) di sini adalah mengelola kehidupan yang memberdayakan, kuat, serta bermartabat. Kepemimpinan mesti diwujudkan oleh manusia di berbagai peringkat: keluarga, organisasi kecil, organisasi sosial kema-syarakatan, dan bernegara. Kepemimpinan dalam kehidupan,  adalah suatu kewajiban guna untuk mewujudkan tanggung jawab yang sinambung dari unit terkecil seperti keluarga, hingga ke unit kehidupan yang besar yaitu berbangsa dan ber-negara. Kepemimpinan yang kuat dan berwibawa dapat membawa hidup lebih berdaya, lebih stabil dan berdaya tahan tetap, sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan keamanan.

Kedudukan sebagai khalifah dalam pemahaman di atas, memungkinkan manusia melakukan peran penting selain sebagai khalifah, yaitu sebagai pembangun  peradaban.

  • Manusia sebagai Pembangun:

Kedudukan manusia sebagai pembangun peradaban diungkapkan Al-Qur’an Surah Hud: 61. Dalam Surah Hud ayat 61, kedudukan kedua manusia, diungkap dengan Huwa ansyaakum min al-ardhi wa sta’marakum fiha; ‘Dia yang menghidupkan kamu di muka bumi dan memberi kamu kekuasaan memakmurkannya’.

Selain berkedudukan sebagai khalifah, yang membina dan mengelola kepemimpinan bagi terwujudkan kehidupan kolektif yang terbaik, maka bagi menjalani kehidupan yang kuat berkelanjutan, menurut Surah Hud ayat 61 di atas, manusia berperan sebagai pembangun peradaban. Selain untuk berlanjutnya kehidupan, peran kepemimpinan manusia di muka bumi adalah untuk membangun, yaitu suatu aktivitas yang tampak dalam kehidupan dalam rangka mewujudkan kemakmuran, yang menjadi tanda dari proses yang berkelanjutan dari suatu peradaban manusia.

Ada empat tugas pokok yang mesti dilaksanakan manusia dalam rangka memak-murkan dunia dalam membangun peradaban (Abd. Muin Salim), yaitu:

  1. Perintah berbuat adil, berharapan dengan larangan berbuat keji (fakhisyah);
  2. Perintah berbuat kebajikan (ihsan), berhadapan dengan larangan berbuat kemungkaran;
  3. Perintah memenuhi hak-hak kerabat (ita’i dzil qurba) berhadapan dengan larangan mena han hak orang atau berbuat aniaya (al-baghy);
  4. Perintah memenuhi hak-hak yang ditimbulkan oleh perjanjian Tuhan (ahlullah), berhadapan dengan larangan-larangan yaitu:
  • merusak sumpah yang telah dilakukan dengan nama Tuhan;
  • merusak persatuan yang telah dikokohkan;
  • menjual perjanjian Tuhan dengan harga murah (kehidupan duniawi).

Empat hal di atas, berkaitan erat dengan kedudukan manusia membangun peradaban di muka bumi, yang memungkinkan terwujudkan negara yang adil dan makmur. Termasuk tugas di atas, adaknya tegak dan kokohnya ketahanan nasional suatu bangsa dalam berbagai era yang ada di dalam kehidupan. Dalam konteks ini, tanpa melibatkan diri dalam upaya memakmurkan dunia, seorang mukmin belum dianggap muslim sejati. Karena aktivitas memakmurkan (jauh dari merusak dan merugikan), bisa wujud melalui kepemimpinan (khalifah) yang berkhidmat melayani sesama dan daya cipta dan karsa (ditopang ilmu yang benar, pengalaman yang mumpuni, serta akhlak yang karimah). Melalui kerja-kerja-kerja yang jujur, tekun, bersungguh-sungguh dan yakin kebaikannya, suatu bangunan dan kemakmuran masyarakat dapat tumbuh dari tingkat sederhana hingga ke tingkat peradaban yang tinggi. Dan melalui kebiasaan membangun dan memakmur, tetapi dengan tanpa merusak, suatu negara memiliki daya tahan dan bahkan kokok, baik di tingkat daerah, regional, maupun nasional dalam era apapun yang dihadapi baik termasuk era globalisasi sekarang.

  • Manusia sebagai abdi Tuhan:

Eksistensi manusia sebagai abdi atau hamba Allah dapat dipahami dari potongan ayat liyabuduni ‘agar mereka mengabdi (menyembah) kepada-Ku (Q.S. Al-Dzariyat: 56).

Banyak pengertian yang dipegangi mengenai arti ibadah, di antaranya berarti ketaatan atau kepatuhan dan sukarela memenuhi perintah Tuhan.

Ibadah itu ada yang berarti sempit yaitu yang biasa disebut sebagai ibadah mahdhah (murni) yang aktivitasnya meliputi arkanul Islam sejak melakukan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji. Manusia sebagai abdi Tuhan, dapat menjelaskan keterlibatan dirinya dalam melakukan ibadah, seperti dalam melakukan ibadah berikut ini.

Ketika ditanya: mengapa melakukan shalat? Nalarnya menangkap sinyal bahwa salat yang dilakukannya bukan untuk Tuhan, melainkan kewajiban diri berhadapan dengan Tuhan, yang menciptanya, yang memeliharanya, yang menyuplai rezeki baik baik diperoleh langsung atau yang diperoleh melalui dijemput dengan berikhtiar dan bekerja. Ia manggut-manggut paham, bahwa pada hakikatnya ibadah merupakan hak Tuhan dan kewajiban bagi manusia.

Juga mudah paham ketika dijelaskan mengapa mengeluarkan zakat. Sebab pada harta yang dimiliki, ia bukan sepenuhnya milik pribadinya sendiri tetapi harta itu punya fungsi sosial. Harta pada intinya adalah titipan Allah. Sepeninggal kita, ia menjadi hak para pewawaris, dan ketika masih hidup di situ melekat hak para fakir dan miskin. Maka ketika diinspirasi bahwa seorang kaya adalah orang yang suka (1) bagun menjelang fajar, (2) salat tahajud, (3) salat subuh berjamaah (4) shalat dhuha, dan (5) sedekah, dirinya mudah menerima logika itu. Mengapa mesti berpuasa? Puasa adalah erat dengan hidup sehat rohaniah dan jasmaniah. Akal sehatnya mudah menerima dan mencerna, hingga baik puasa wajib maupun sunah mantap dijalankan dalam kehidupan.

Dan mengapa mesti beribadah haji? Sebab kehidupan kolektif tidak layak mengurung diri. Badaniah dan rokhaniah serta harta adalah wahana ibadahnya. Dengan haji, bukan sekadar ibadah murni dan ritual yang dikenalnya, tetapi juga dipetik dimensi sosial. Jika di Indonesia, kita saling mengenal beragam penduduk senegara, dengan haji pengalaman menjadi luas: nyata benar bahwa sesama mukmin itu hidup bersaudara. Ibadah haji membawa kita berwa-wasan luas, kasih bagi sesama terbukti setelah kita berbagi, dan persaudaraan bisa begitu luas. Padahal,  semua manusia sama keturunan Bapak Adam dan Ibu Hawa, yang setelah lama tidak bertemu tiba-tiba berjumpa mesra di Jabal Rahmah, di Padang Arafah sana.

Paparan sebagai dibentangkan di atas memberi petunjuk, bahwa orang beragama yang beramal dalam keyakinan agamanya memiliki kedudukan bagi pemberdayaan kehidupan. Manusia dalam posisi apa pun memiliki potensi bagi suatu perilaku ketahanan, baik dalam unit keluarga, masyarakat, atau  bernegara dalam berbagai peringkat.

 

Agama dan  Ketahanan Nasional

Konsep manusia dalam kehidupan beragama di atas memosisikan manusia dalam kedudukan yang mesti diperankan menurut tuntunan agama. Dengan berperan di dalam kedudukan yang ditentukan, maka banyak hal yang sebenarnya dapat diperankan oleh manusia beragama di dalam kehidupan bernegara. Misalnya, dengan kedudukan yang dimiliki sebagai khalifah, sebagai pembangun peradaban, dan sebagai abdi Tuhan, manusia dapat berperan aktif di dalam kehidupan kenegaraan bagi memperkokoh ketahanan nasional suatu negara.

Agama dengan demikian memiliki hubungan yang sangat erat dengan aktivitas kehidupan bernegara dan mesti memiliki kepedulian bagi penciptaan ketahanan negara. Hal demikian ini berlaku dalam era apapun, tanpa terkecuali di dalam era globalisasi sekarang ini.

Ada dua peran utama yang diharapkan dapat diperoleh dari agama dalam rangka menghadapi ketahanan nasional dalam era globalisasi sekarang, yaitu:

  1. Peningkatan kualitas pendidikan agama

Dengan menyimak fungsi agama yang begitu penting dalam mendorong aktivitas pemeluk agama, maka menjadikan penanganan pendidikan agama meningkat terus adalah suatu kegi-atan yang tidak bisa dilewatkan mewujudkannya. Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan agama ada beberapa poin dapat kita:

  1. Ada dua pegangan utama yang mesti dipegangi sebagai sumber utama dalam mendongkrak kualitas pendidikan agama yaitu Ayat-ayat Qur’aniyyah dan Ayat-ayat Kauniyah. Jika ayat Qur’aniyyah sudah tertuang isinya secara lengkap dalam Al-Quran dan hadis-hadis Nabi sehingga tinggal memahami dan mengungkap isinya dengan benar dan baik bagi kehidupan, maka Ayat-ayat yang Kauniyah kebanyakannya tampil dalam wujud fenomena-fenomena simbolik alam semesta. Sebagian sudah dikuak dalam bentuk-bentuk ilmu pengetahuan yang tampilkan eksplisit, sementara sebagian besar yang lain masih merupakan ‘permata intan’ yang masih menyelinap di balik lumuran tanah yang   Masih diperlukan perjuangan kuat bagi menggali manfaatnya. Upaya terbaik memecahkan hal ini, antara ilmu yang digali dari ayat Qur’aniyah dan Kauniyah dipadukan dalam suatu kesatuan yang utuh.

      Di samping itu, dikhotomi keilmuan perlu segera diakhiri, sehingga sebutan ilmu agama dan ilmu umum di dalam aktivitas               pendidikan dan pelajaran layak diakhiri.

  1. Pendidikan agama mesti diajarkan dalam konteks yang luas: pendidikan agama tidak cukup sekadar mengajarkan satu dua aspek ajaran seperti aspek ibadah ritual dan hukum fiqih saja, tetapi menampilkan studi dalam aspek yang luas, sejak dari aspek akidah, aspek ibadah, aspek mu’amalah, aspek akhlak, aspek hukum, aspek theologi, aspek filsafat, aspek lembaga-lembaga pemasyarakatan, serta aspek tasauf.
  2. Peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan

     Peningkatan kualitas pendidikan agama, bagi memperkokoh ketahanan nasional di bidang keagamaan, baru akan berjalan   mantap jika diposisikan seringin dengan upaya peningkatan peran dan fungsi-fungsi lembaga keagamaan, antara lain sebagai berikut:

  1. Memperkokoh Kehadiran TPQ Plus: Taman Pendidikan Al-Qur’an yang sejauh ini wujud perlu diimbangi dengan pengajaran ibadah salat yang istiqamah serta kemampuan membaca dan memahami Al-Qur’an tingkat dasar.
  2. Aktivitas MUI Kota dan Pemberdayaan MUI Kecamatan: Dua lembaga Majelis Ulama Indonesia ini adalah lembaga Islam yang memiliki banyak peran dalam proses penciptaan keamaan di NKRI. Sudah terbitnya SK Presiden berkaitan dengan lembaga keagamaan ini perlu ditindak lanjuti dengan pengembangan bagi MUI Tingkat Kota, dan perlunya pemberdayaan bagi MUI Tingkat Kecamatan.

 

Penutup

Demikian paparan singkat yang dapat disampaikan sebagai pengantar dalam acara Dialog Memperkokoh Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi pada kesempatan ini, semoga uraiannya menjadi penyegar bagi kelangsungan hidup kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang kita jalani sekarang dan ke depan.

                                                                                                                                  Semarang, 25 Pebruari 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *