Nabi Ibrahim a.s. Teladan untuk Pancasilais Sejati
Allah Swt berfirman, “Sungguh, telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Ibrahim a.s. bukan sekadar nama dalam sejarah. Beliau adalah revolusioner spiritual yang mengguncang tradisi jahiliyah dengan tauhid, keberanian, dan keadilan. Kisahnya ternyata bernafas sama dengan DNA Pancasila.
Di tengah hiruk-pikuk modernitas, nilai-nilai Ibrahim justru menjadi kompas hidup bagi bangsa ini. Mari kita telusuri bagaimana tauhid-nya menguatkan Ketuhanan YME, keadilannya menyempurnakan Kemanusiaan yang Beradab, dan pengorbanannya merajut Persatuan.
1. Tauhid vs Berhala Modern: Ketuhanan yang Membebaskan
Firman Allah Swt: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27)
Maksud ayat di atas, Ibrahim a.s. menghancurkan berhala-berhala kebodohan. Kini, berhala modern berupa materialisme, rasisme, atau fanatisme buta masih ada. Sila Pertama Pancasila mengajak kita mengakui Tuhan tanpa menindas manusia.
Suatu contoh nyata, Seorang santri di Surakarta, Ahmad, mendirikan “Rumah Baca Lintas Iman”. Ia teguh shalat lima waktu, tapi juga meminjamkan buku pada anak-anak Kristen dan Hindu. “Tauhid saya kuat justru karena mengakui hak orang lain,” katanya.
2. Kemanusiaan Ibrahim: Melawan Zalim Tanpa Kehilangan Adab
Sifat Nabi Ibrahim disebutkan bahwa “Sesungguhnya Ibrahim itu penyantun, penuh penyesalan (pada Allah).” (QS. Hud: 75)
Maksud dari ayat di atas, bahwa dia melawan Namrud tanpa kebencian, menyelamatkan Lut tanpa sombong. Sila Kedua Pancasila adalah manifestasi dari “rahmatan lil ‘alamin”—keadilan yang berperikemanusiaan.
Suatu contoh nyata, bahwa di sebuah pabrik di Semarang, Manajer Siti menolak memecat karyawan yang sedang sakit keras. “Profit penting, tapi nyawa manusia lebih suci,” ujarnya. Ini anti-tesis kapitalisme rakus—nilai Ibrahim hidup dalam ekonomi Pancasila.
3. Persatuan & Musyawarah: Dari Mimpi Penyembelihan ke Bhinneka Tunggal Ika
Dialog Ibrahim-Ismail:
“Wahai anakku! Aku bermimpi menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” (QS. As-Saffat: 102)
Maksud ungkapan di atas bahwa musyawarah bukan sekadar prosedur, tapi ruh demokrasi yang ilahiah. Sila Keempat Pancasila adalah warisan Ibrahim: keputusan besar butuh dialog, bukan paksaan.
Ditemukan contoh nyata, Warga Desa Ngemplak, Boyolali, menyelesaikan sengketa lahan dengan “rembuk budaya” alih-alih kekerasan. Mereka duduk bersama, minum teh, dan mengingat pesan leluhur: “Bersatu seperti Ibrahim dan Ismail membangun Ka’bah.”
4. Keadilan Sosial: Doa Nabi Ibrahim untuk Indonesia
Doa Nabi Ibrahim a.s.:”Ya Tuhan, jadikan negeri ini aman dan beri rezeki dari buah-buahan.” (QS. Ibrahim: 37)
Maksud ungkkapan tersebut, kesejahteraan bukan untuk segelintir orang. Sila Kelima adalah tafsir modern dari zakat dan sedekah—distribusi kekuatan untuk yang lemah.
Suatu contoh:Gerakan “Sedekah Sampah” di Malang: Warga mengubah limbah menjadi dana beasiswa. “Seperti Nabi Ibrahim yang peduli pada Siti Hajar dan puteranya Ismail di lembah tandus, kami peduli pada anak-anak kurang mampu,” kata Koordinatornya.
Penutup: Ibrahim, Pancasila, dan Kita
Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan: Keteguhan iman tanpa intoleransi (Sila 1), Keadilan yang memanusiakan (Sila 2), Persatuan lewat dialog (Sila 3 & 4), Kepedulian yang nyata (Sila 5).Pancasila adalah piagam Ibrahim di Nusantara. Ia bukan sekadar ideologi, tapi janji kita pada Tuhan dan sesama: membangun negeri tanpa mengorbankan iman atau kemanusiaan.
“Allahumma, jadikan Indonesia baladan aminan—negeri yang aman dan diberkahi, seperti doa Nabi Ibrahim untuk Makkah.” (Erfan Subahar)