Kota di Sungai Nil
Raja (Fir’aun) mendirikan kota Pi-Ramesses di delta Sungai Nil, sebagai ibu kota baru dan basis utama bagi kampanye militernya di Suriah. Ramses II juga merupakan salah satu Fir’aun yang paling lama berkuasa, yakni 66 tahun.
Saat Nabi Musa a.s. dilahirkan, Ramses II sudah berusia 54 tahun, yang sudah mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Ramses II diangkat sebagai Fir’aun pada usia 24 tahun, yang mengendalikan penuh Mesir dalam waktu 20 tahun pertama. Saat mengangkat dirinya sebagai Tuhan, kekuasaannya sudah berlangsung selama 30 tahun.
Kelahiran bayi laki-laki menjelang Kelahiran Musa adalah benar-benar membuat gusar Fir’aun. Sebab para penasehat spiritual Fir’un mengatakan ketika menafsirkan mimpi Fir’un, bahwa akan lahir bayi laki-laki dari kalangan Bani Israel yang kelak akan menaklukkan kekuasaan Fir’aun. Untuk maksud penggagalan tafsir mimpinya, Fir’un memerintahkan pembunuhan setiap bayi laki-laki dari Bani Israil (QS. 2: 49).
Namun, bayi Musa diselamatkan oleh Allah Swt dengan cara yang istimewa. Ibu Musa memperoleh ilham dari Allah Swt ketika Musa dilahirkan untuk menghanyutkan bayinya di aliran sungai Nil. Dan atas kehendak-Nya, bayi yang diletakkan di ranjang itu, akhirnya berlabuh hingga sampai di istana Fir’aun di Memphis.
Saat itu, istri yang paling dicintai Fir’aun (Asiyah) sedang berada di taman pinggir sungai Nil. Dia melihat bayi lucu itu dan langsung jatuh hati kepadanya. Maka, dia lalu mengambil bayi tersebut dari keranjangnya dan mohon perkenan Fir’aun untuk tidak membunuhnya. Padahal, yang terlihat bayi laki-laki itu berkulit putih yang jelas-jelas bukan dari kaum Fir’aun. Dalam kondisi itu, Ramses II tidak mampu menolak permintaan istrinya (QS. 28: 9).
Musa Tinggal di Kerajaan
Selama tinggal di dalam istana, Musa terus mendapat perlindungan Allah Swt. Bayi itu tidak mau disusui siapa, dia hanya mau menyusu kepada ibu kandungnya, seorang yang memiliki wajah Bani Israil.
Untuk memenuhi permintaan istri tercinta, Ramses II menyelenggarakan sayembara mencari perempuan yang mampu mengasuh dan menyusui bayi tersebut. Akhirnya terpilihlah ibu kandung Musa sebagai pengasuh yang menyusui dan memelihara Musa sampai masa kanak-kanaknya berakhir (QS. 28: 12).
Pendek cerita, Nabi Musa a.s. merupakan musuh besar Fir’aun itu yang semenjak bayi dipelihara dan dibesarkan dalam lingkungan istana. Sampai pada suatu ketika, setelah menjadi pemuda, Musa yang memiliki maksud menolong menyelatkan seseorang namun memiliki nasib sial. Ternyata, dia dengan sekali pukulan membawa terbunuhnya seorang Qitbhi (orang Mesir asli) yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Bani Israil.
Fir’aun pun tak mampu menahan diri untuk menghukum Musa. Dia geram kepada Musa, pemuda Bani Israil yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun, tetapi tetap saja menunjukkan pembelaannya kepada Bani Israil yang dia benci.
Musa dari kasus itu, lalu lari meninggalkan kota Memphis menuju negeri Madyan, sebelah timur kota Mesir. Di Madyan itulah, Musa kemudian diambil menantu oleh Nabi Syuaib a.s., yang darinya juga banyak belajar tentang agama kepada beliau selama sepuluh tahun atau lebih (QS. 28: 27).
Menjelang usia 40 tahun, Musa bersama keluarga meninggalkan negeri Madyan menuju Mesir. Di tengah perjalanan, di sekitar gunung Sinai, Musa melihat dan merasakan ada api (anastu nara) di sebuah bukit. Dia pun mendaki bukit itu dan ternyata di bukit itulah dia menerima perintah dari Allah SWT untuk menghentikan kesewenang-wenangan Fir’aun serta sekaligus mendakwahkan agama yang Meng-Esa-kan Allah. Untuk itu, Allah Swt membekali Musa dengan beberapa mukjizat.
Ajakan Kembali ke Tauhid DItolak
Setelah menerima wahyu Allah Swt di Gunung Sinai, Nabi Musa a.s. melanjutkan perjalanan ke kota kerajaan untuk menyampaikan ajaran Allah SWT. Ia menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pencipta Alam Semesta, yang dianut oleh agama para nenek moyang nya terdahulu. Akan tetapi, Fir’aun menolak ajakan Nabi Musa dan menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang sebenarnya.
Selanjutnya, Nabi Musa a.s. mengajak Bangsa Israil untuk keluar dari Mesir menuju Tanah Yang Dijanjikan Allah. Upaya perginya itu diketahui oleh Raja atau Fir’aun, sehingga kemudian dikerahkan 2.000 pasukan inti untuk menghentikan langkah Bani Israil yang jumlahnya mencapai 600.000 orang. Namun sayangnya, Bangsa Israil dapat meloloskan diri dari cengkeramah Fir’aun beserta bala tentaranya.
Sebelum meninggal di Laut Merah, Fir’aun sempat bertobat, tetapi ditolak oleh Allah SWT, seperti dijelaskan di dalam Al-Qur’an,
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas mereka, hingga Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah ia, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Yunus: 90).
Allah SWT berfirman,
“Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuaasaan Kami.”
(QS. Yunus: 91-92).
Demikianlah, Ramses II akhirnya meninggal dunia dalam usia 97 tahun, dimakamkan di Lembah Raja setelah mayatnya ditemukan rakyat setelah terombang-ambing ombak di Laut Merah. Keberadaan muminya baru tahun 1881, ditemukan para arkeolog di sekitar Lembah Raja, lalu dipindahkan ke Museum Mesir di Kairo (Erfan S).