Menapak Jejak Sang Ayah: Refleksi Ulang Tahun ke-69
Pada hari Selasa malam Rabu, 24 Juni 2025, pukul 18.40, halaman rumah kami di Beringin, Ngaliyan, terasa berbeda. Malam itu menjadi istimewa—bukan karena gemerlap atau kemewahan—tetapi karena kehangatan dan kebersamaan yang menyentuh hati. Pada malam itu, keluarga besar kami memperingati hari ulang tahun saya yang ke-69 dengan cara yang sederhana, khidmat, namun penuh makna.
Semua anak hadir. Para menantu ikut menyatu.Yang jauh seperti Cibinong, Depok dan Bekasi via online, sedang yang di Semarang, hadirnya secara offline; ke rumah orang tua di Beringin Semarang. Sebelas cucu yang biasanya berlarian riang, malam itu turut larut dalam suasana. Mereka bernyanyi bersama, tertawa, memanjatkan doa, dan menyampaikan ucapan serta harapan-harapan terbaik bagi saya, yang mereka panggil Akung. Sebuah kehormatan dan kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata biasa. Malam itu saya merasa, betapa besar nikmat Allah yang tak henti tercurah dalam kehidupan ini—melalui cinta, doa, dan perhatian keluarga yang terus setia membersamai langkah-langkah usia.
Namun bagi saya, ulang tahun bukan sekadar penanda waktu. Ia adalah kesempatan untuk merenung, menengok ke belakang dan memandang ke depan dengan hati yang terbuka. Dalam momen itu, saya sampaikan sebuah pesan yang saya simpan lama di hati: “Apa yang telah saya rintis dan perjuangkan—dalam dakwah, pendidikan, dan tulisan—semoga dapat dilanjutkan, bahkan diperkuat, oleh anak-anak dan cucu-cucu kita.”
Usia 69 tahun bukan hanya angka. Ia adalah penegas bahwa waktu kita terbatas, dan bahwa yang paling berarti dari hidup ini bukan berapa lama kita hidup, tapi jejak apa yang kita tinggalkan. Bagi saya, hidup yang baik adalah hidup yang membekaskan kebaikan. Bukan hanya dalam bentuk warisan materi, tetapi terutama dalam bentuk nilai: keimanan, keilmuan, dan keteladanan.
Warisan terbesar yang ingin saya tinggalkan bukanlah rumah, gelar, atau harta. Tapi arah hidup—cara hidup—yang insya Allah penuh keberkahan: menjadi hamba yang berguna, menjadi pribadi yang mencintai ilmu, menebar manfaat, dan tak pernah berhenti menulis serta membimbing. Saya tidak memaksakan anak dan cucu untuk menjadi seperti saya, tapi saya sangat berharap mereka mampu menjadi lebih baik—dengan pondasi nilai yang sama: cinta kepada Allah, cinta kepada ilmu, dan cinta kepada sesama.
Tentu, harapan ini hanya mungkin terwujud dengan pertolongan Allah SWT. Maka, malam itu saya menutup acara dengan sebuah doa yang lahir dari hati terdalam:
“Ya Allah, kuatkan anak-anakku, mantapkan cucu-cucuku. Jadikan mereka generasi yang mencintai-Mu, mencintai ilmu, dan mencintai amal. Bimbing mereka meneruskan jejak kebaikan, dan jangan biarkan mereka tersesat di tengah arus zaman yang penuh godaan dan fitnah.”
Malam itu menjadi momen yang membekas dalam jiwa saya. Ia bukan sekadar perayaan ulang tahun, tetapi perjumpaan hati dan cita-cita antar generasi. Sebuah penguatan niat dan penegasan warisan nilai yang ingin terus dihidupkan dalam keluarga. Saya sadar, saya tidak akan selamanya ada di dunia ini. Tapi saya percaya, bila nilai-nilai ini tumbuh dalam hati anak-anak dan cucu-cucu saya, maka insya Allah cahaya itu akan terus menyala, bahkan ketika saya sudah tiada.
Semoga Allah meridai dan memudahkan. Dan semoga semua yang telah dimulai—karya dakwah, tulisan, dan bimbingan umat—dapat menjadi amal jariyah yang terus mengalir, dari saya… dan dari keturunan saya. Hingga akhir hayat, dan bahkan setelahnya.Amin [Erfan Subahar].