Selektivitas Hadis-Hadis Nabi: Materi Ceramah Ramadhan (1)
Disalin dari presentasi Webinar Menjelang Ramadan 1442/2021
SELEKTIFITAS DALIL-DALIL HADIS DALAM MATERI CERAMAH
PADA BULAN SUCI RAMADHAN 1442/2021[1]
Oleh Moh. Erfan Soebahar[2]
A. Pendahuluan
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam penting yang mendampingi al-Qur’an, sehingga dengannya Islam dapat jelas dimengerti dan dipahami, baik bagi memperluas atau mendalami ajaran. Dengan begitu maka tatkala al-Qur’an diungkap secara umum, atau global, atau berupa bahasa simbolik, maka hadis datang untuk menjelaskan atau menafsirkannya dengan ungkapan yang cair dalam kehidupan. Maka ketika Islam menegaskan melalui ayat al-Quran tentang misi kerasulan yaitu untuk rahmat bagi semesta alam, maka hadis mengiringinya dengan penjelasan beragam yang lebih konkret dengan ungkapan membumi yang sejalan dengan maksud al-Qur’an.
Pada kesempatan webinar nasional menjelang Ramadhan 1442/2021 saat ini, uraian makalah disajikan dalam pokok-pokok seperti yang sudah diharapkan oleh panitia. Uraiannya hanya berfokus untuk menjawab tiga masalah:
(1) Bagaimanakah kondisi hadis pada masa awal dan sekarang baik penulisan ataupun pembukuannya?
(2) Mengapa sebelum menggunakan pada materi ceramah dalil-dalil hadis perlu diseleksi? Dan
(3) Bagaimana cara menyeleksi dalil-dalil hadis untuk bahan ceramah puasa Ramadhan?
B. Kondisi Hadis pada Masa Awal dan Sekarang: penulisan dan pembukuan
Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah, yang menerima tugas sebagai utusan Allah pada usia 40 tahun. Dari sudut usia ini, dicatat sejarah bahwa beliau menjalankan tugas 20 tahun lebih lama dari Nabi Isa a.s. Nabi Muhammad saw sekitar 23 tahun, sementara Nabi Isa a.s. sekitar 3 tahun.
Dari sini dapat dipahami jika data-data yang diungkap dari masa kerasulan Nabi saw cukup banyak. Jika naskah yang tertulis dalam al-Quran terdiri atas 6.236 ayat, maka data naskah hadis konon sekitar 50.000-an yang sahih, sementara “hadis” dalam naskah manuskripnya berkisar 600.000 data, yang bercampur dalam banyak muatan baik yang hasan, dhaif, dan/maudhu.
Hadis Nabi Muhammad saw (Hadis) pada pada dasarnya berkait erat dengan wahyu Allah Swt, sehingga membicarakan hadis tidak bisa dilepaskan dari kaitan Sunnah Nabi saw itu dari kegunaannya buat hujah agama untuk kehidupan. Baik hadis yang berupa pernyataan (qauli), perbuatan (fi’li), persetujuan (taqriri), atau pun persifatan yang dinarasikan dari profil Nabi saw (sifatan), memiliki kaitan dengan hadis yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran (Al-Najm/53: 3-4)
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm/53: 3-4).
Ayat di atas ini memberi petunjuk, bahwa profil Nabi Muhammad saw sebenarnya adalah pancaran nyata dari Wahyu Allah Swt di dalam alam nyata ini.
Ungkapan atau profil Nabi saw yang bersumber dari Al-Quran itu kian lama semakin menantang. Tatkala dihubungkan sebagai penjelas ayat al-Quran, baik mengenai misi kenabian ketika melaksanakan aktivitas atau dalam menjalankan tugas-tugas, maka relevansi hadis-hadis itu menjadi jelas bagi menguak pemecahan berbagai hal di dalam kehidupan yang dihadapi baik sekarang maupun ke depan yang di hadapi oleh umat dan pemimpun untuk kehidupan.
Penulisan dan Pembukuan Hadis: Personal, Kitab Induk dan Nukilan Hadis Untuk Dakwah
Menelaah kesejarahan hadis, kondisi hadis pada masa awal (Nabi saw dan masa sahabat) proses kesejarahannya cukup panjang. Lalu berkembang di masa-masa berikutnya dengan pembukuan dengan kemajuan yang pesat hingga masa sekarang.
Pertama, sudut kesejarahan klasik; memandang hadis itu dihafal dan diriwayatkan secara hafalan sejak masa Nabi saw sampai dengan masa pembukuan. Cara pandang ini dianut oleh banyak kalangan, terutama oleh mereka yang memiliki hafalan kuat, yang dapat menghafal hadis dari yang berjumlah puluhan, ratusan, sehingga ratusan ribu hadis. Juga dianut oleh mereka yang suka berefleksi betapa sulitnya membukukan al-Qur’an di masa awal memiliki kesejalanan atau sependapat dengan pendirian ini, yang kondisinya belum mengenal bahkan jauh dari kondisi media cetak atau kertas berupa kitab atau buku.
Kedua, sudut pandangan masa kini; tidak dapat ditutup-tutupi suatu realitas bahwa sahabat yang memang mampu menulis di masa Nabi saw ternyata tidaklah sedikit. Yang berinisiatif untuk menuliskan sabda-sabda Nabi saw di masa beliau sedang bersama hidup dengan para sahabat, ternyata jumlahnya tidaklah pantas untuk disebut sedikit. Lebih-lebih dengan hadirnya temuan-temuan penelitian di abad 20 ini yang laporannya misalnya dituangkan buku Kuttabun Nabawi saw; menegaskan, bahwa jumlah penulis hadis-hadis pada masa Nabi mencapai lebih 60 orang sahabat.[3]
Para sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi saw itu,[4] dari sudut pemahaman keilmuan diyakini sudah sama memahami bahwa Wahyu, terutama tentang adanya hadis Nabi saw bahwa larangan menulis hadis pada masa Nabi saw tidaklah bersifat total. Bagi mereka, larangan menulis oleh Nabi saw itu terkait dengan kondisi zaman saat itu agar hadis tidak terjadi bercampur-baur dengan penulisan Al-Quran, dan bagi yang sudah lurus pemikirannya, seperti ada sahabat yang secara sengaja diperintah oleh Nabi saw untuk menulis surat-surat Nabi kepada para raja; untuk sahabat yang memohon kepada Nabi saw agar mereka menuliskan khutbah atau pidato yang telah disampaikan oleh Nabi saw; atau kepada banyak sahabat yang merekam sabda-sabda dan pengamatan terkait dengan profil Nabi saw dalam rekaman miliknya — dapat dipahami bila diam-diam mereka telah memiliki catatan atau dokumen hadis yang tidak dapat dibilang sedikit.
———-
[1]Disiapkan untuk disajikan sebagai bahan Webinar Nasional di Program Pascasarjana UIN Sultan Alauddin Prodi Ilmu Hadis, pada hari Jum’at, 9 April 2021.
[2]Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar adalah guru besar Ilmu Hadis; Ketua Umum MUI Kota Semarang 2015-2025, Ketua Dewan Pembina LSIS Jawa Tengah dan Ketua Dewan Pembina YPI Darul Ulum Semarang.
[3]Sahabat menurut Ibnu Hajar al-Asqalani adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw, beriman kepada ajarannya, dan meninggal dunia dalam keadaan Islam. Lihat, …..
[4]Muatafa al-A’zhami, Kuttabun Nabawi saw,
[5]Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-Ilm, Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1974, hlm. 32.