Menyimak Tentang Kewajiban Memberi Nafkah oleh Suami di Dalam Islam (1)

Memberi nafakah di dalam kehidupan ternyata bukan hal yang sederhana yang boleh diabai-abaikan begitu saja. Karana kewajibannya bukan hanya nafakah suami kepada istri yang itupun kadang kian dianggap enteng di dalam kehdupan. Tentang Nafakah, ia memiliki kategori yang mestilah diperhitungkan dengan jelas. Ia memiliki kategori yang layak dilihat secara lengkan di bawah ini, dan sudahkan kita merealisasikan pemberikan nafakah dengan jelas seperti ditentukan demikian oleh syarak.

1. Nafkah untuk diri (suami) sendiri

Memberi nafkah pada diri sendiri adalah yang didahulukan. Sebelum memberi nafkah kepada orang lain, maka memberikan nafkah dahulu kepada dirinya adalah pandangan yang memiliki dasar yang jelas di dalam agama,  Hal ini dijelaskan dalam hadis. Dalam hadis yang di-takhrij oleh Imam Muslim, sahabat Jabir meriwayatkan hadis, Nabi Muhammad saw bersabda:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

“Mulailah [pemberian nafakah itu] dengan nafkah untuk dirimu, lalu selebihnya untuk keluarga (istri dan anak)mu, selebihnya untuk kerabat dekatmu, lalu untuk kebutuhan lain yang ini dan yang itu” (HR Muslim).

Hadis di atas memberi petunjuk, bahwa nafkah pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan suami sendiri, baru diikuti istri dan anak, lalu kerabat dekat kita, menyusul yang dibiayai dari apa-apa yang dekat dengan keluarga.
Pendek kata, nafkah yang pertama adalah diri (sang suami sendiri) lebih dahulu. Karena suami adalah yang harus memenuhi kebutuhan keluarga baik zhahir maupun batin.

2. Nafkah untuk istri

Dari dasar di atas, maka giliran memberi nafkah yang kedua; berikutnya adalah nafkah untuk sang istri. Dalam studi ilmu fiqih, para ulama biasa menyebutkan bahwa memberi nafkah kepada orang lain yang wajib adalah karena tiga hal, yaitu karena pernikahan (zaujiyyah; suami memberi nafkah kepada istri), lalu kepada kerabat (anak dan keluarga), lalu karena kepemikan (milkiyyah; apa-apa yang dirawat di dalam keluarga) seperti hewan, benda-benda yang suatu ketika bisa aus atau rusak, dan semisalnya.

Nafkah karena ikatan pernikahan ini tentu adalah pernikahan yang sah, yang masih dirinci lebih jauh. Yaitu, selain memberi nafkah zhahir berupa kebutuhan regular bulanan, juga nafkah batin yang biasa dikenal dengan kewajiban mengumpuli istri (budhu), yang sudah sama dimaklumi. Kewajiban ini bukan saja ketika keluarga masih dalam kondisi utuh, melainkan juga pernikahan yang dalam kondisi putus atau cerai antara suami dan istri. Di sinilah, sang suami memiliki tanggung jawab keluarga yang diwajibkan di pundaknya sejalah dengan firman Allah:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, sesuai yang Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisaa: 34).

Dari ayat ini kita ditunjuki bahwa memberi nafkah dari suami kepada istri adalah kewajiban agama yang mesti dipehuni. Nafkah istri di sini adalah kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban lainnya adalah nafkah dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri menjadi sunnatullah yang dipenuhi secara keseimbangan oleh suami dan istri (Erfan Subahar).

Bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *