Puasa Ramadhan disyari’atkan secara matlu ‘diungkap jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis’ yang pelaksanaannya telah dipraktekan oleh Nabi saw dan para sahabat, juga generasi yang sebelumnya, supaya menjadi mukmin muttaqin. Para mukmin yang nyata taqwanya di hadapan Allah, akan meraih bahagia dari ibadah puasanya, karena telah mengikuti jalan yang ditunjuki-Ny; tidak sekadar dari timbangan nalarnya sendiri. Karena melaksanakan puasa — yang tidak dikehendaki syara’ — bisa jadi hanya puasa yang membuat lapar dan dahaga, tetapi meleset dari nilai pengabdian yang mestinya layak diberi pahala besar, tetapi meleset karena ditutup sendiri dengan kemelesetan nalarnya yang ternyata di luar yang dikehendaki-Nya. Na’udzu Billah.
Dalam rangka berpuasa Ramadan yang berkualitas, saya sebagai Ketua Umum MUI Kota Semarang, menyambutnya dengan ungkapan “Selamat Berpuasa Ramadan di Masa Pandemi Covid 19 yang masih berjalan ini. Dengan harapan semoga Covid 19: Segera undur diri dari tugas atas pertolongan Allah bagi kita semua. Dengan itu, di masa masih beredar wabah kita tetap diberi anugerah sehat dan banyak limpahan berkah dari Allah Swt.”
Puasa: Berniat dan Menahan Mantap
Puasa Ramadan yang tepat kita laksanakan hanyalah yang memenuhi syarat dan rukun. Apabila orang yang berpuasa disyaratkan harus muslim, maka berangkat dari diri muslimlah kita penuhi prasyarat diri bagi melaksanakan ibadah puasa. Manakala sudah memenuhi syarat itu, tinggal memenuhi rukun dan etika ibadah puasa itu sendiri.
Orang berpuasa amaliah puasanya baru bernilai manakala telah berniat. Dengan berniat, orang yang berpuasa itu memiliki daya, yaitu daya dorong dan daya tahan diri, yang darinya dia dapat berhasil atau sebaliknya malah gagal dalam melaksanakan ibadah puasa.
Dari niat yang benar, seseorang dapat kuat dalam berkemauan dan kualitas aktivitasnya dari sehari ke sehari puasanya sampai benar-benar lulus berlangsung baik sampai selesai. Soal niat ini — bagi kesuksesan puasa — tidaklah bisa ditawar-tawar, karena niat yang tulus adalah penentu awal keberhasilan puasa. Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang tidak melakukan niat puasa pada malam hari Ramadan maka sia-siala puasanya.” Jelasnya, puasa seseorang jika tanpa niat tidak memiliki pahala apapun.
Dari keterangan di atas, maka puasa mesti diperhatikan betul-betul kesempurnaannya. Dalam rangka melaksanakan puasa Ramadan, kita selain melakukan niat berpuasa ketika saur, juga harus memenuhi rukun kedua puasa.
Rukun kedua puasa adalah menahan diri. Para ulama ahli fiqih menjelaskan bahwa puasa itu ialah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa seperti makan, minum, melakukan hubungan bersebadan, dan [perbuatan maksiat] pada waktu berpuasa, dari sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari. Jadi, menahan yang dimaksud mencakup latihan menahan secara fisik juga psikis yang terus dibiasakan selama berpuasa.
Dari keterangan di atas jelas puasa tidak bermaksud menjadikan orang lapar dan sulit. Akan tetapi, puasa adalah untuk menyiapkan kita menjadi orang yang terdidik dan terlatih. Yaitu terdidik hidup berkemauan jelas yang diberangkatkan dari niat, sehingga jika berhadapan dengan lapar dan dahaga kita tidak mudah patah arang, dan tetap kuat kemauan menuju keberhasilan dalam kehidupan. Dengan terus melatih daya tahan, orang tidak akan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan; tidak mudah putus asa ketika berhadap dengan persoalan rumit dalam kehidupan. Tak terkecuali persoalan Covid 19 yang masih juga berjalan.
Dengan berpuasa, orang akan memiliki mentalitas sabar. Yaitu mental kuat dan tahan atas bermacam-macam gangguan yang menghadang ketika kita mencapai tujuan. Jangankan hanya menghadapi gangguan melihat orang lain makan dan minum, mengajak ngobrol dengan kata-kata jelek, ghaibah, bertengkar dan nyombong pun kita sanggup menahannya, sebab puasa telah membentengi kita dengan sikap sabar yang terlatih sehari-hari.
Maka sabar adalah perisai bagi shaimun. Puasa memiliki daya tangkal, sehingga dirinya punya sikap dan etika yang dapat dipegangi dengan sabar. Tidak mau hanya puasa dengan tanpa bersaur. Tidak mau ngelantur bicara yang berbau maksiat, karena sadar bahwa dirinya tengah puasa. Juga tidak mau mengorbankan kesihatan badan dengan mutih ketika berpuasa. Dirinya hanya memegangi panduan puasa yang nyata diajarkan atau ditunjuji oleh Nabi saw, karena sifat sabarnya punya jaminan surga.
Memilih Hanya Puasa yang Berhasil
Dari uraian di atas, kita mengetahui dengan jelas gambaran praktek ibadah puasa secara utuh yang membawa puasa kita berhasil, bukan yang lepas-lepas.
Memilih puasa yang berhasil, paling tidak perlu memiliki patokan-patokan diri bagi puasa yang berhasil, setidaknya dalam gambaran di bawah ini:
Pertama, puasanya menjadikan pelakunya semakin kokoh keimanan dan kedekatan hubungan dengan Sang Pencipta, Allah Swt. Segenap shaimun sudah memiliki kemampuan menjaga diri, baik dalam hubungan vertikal dengan Pencipta maupun dalam hubungan horizonlal. Perbuatannya sudah dapat beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat wajib dan sunnah, mengeluarkan zakat, suka berinfak, dan yakin benar pada kehidupan akhirat. Sudah mematri jiwa taqwallah dalam kehidupannya.
Kedua, pelaksanaan puasanya memenuhi syarat dan rukun. Selain sudah muslim, puasanya di samping dilakukan dengan niat yang tepat dan memenuhi aktivitas menahan diri secara phisikal dan psikhis, juga dilakukan sesuai petunjuk Nabi saw. Karena petunjuk Nabi saw berisi bukan saja aspek fisik pelaku puasa, tqpi juga menyangkut psikhis, sehingga pelaku puasa yang benar, dirinya sehat lahiriah dan sehat bathiniah.
Ketiga, puasa dilaksanakan dengan amalan sunnah secara ikhlas selama sebulan penuh. Puasa yang berhasil tidak hanya menyiratkan takwa sederhana, memenuhi syarat-rukun pelaksanaan amaliah, tetapi juga dilaksanakan sempurna sampai selesai Ramadan. Di sini, tidak lengkap ibadah puasa, jika puasa hanya dilaksanakan di awal dan di akhir bulan, seperti kendang. Jelasnya, puasa adalah yang sempurna sebulan yang dilaksanakan sesuai kemampuan masing-masing.
Keempat, puasa diikuti dengan mengeluarkan zakat. Selain mengeluarkan zakat mal, bukti kemusliman juga mengeluarkan zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat yang ditunaikan sunnahnya di akhir Ramadan setelah waktu fajar sebelum salat Idul Fitri, sedang kewajibannya sudah bisa diselesaikan sejak awal bulan Ramadhan. Jumlahnya sekitar 2,5 kg beras, dari jenis makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari.
Akhirnya, puasa yang berhasil dapat dicapai dengan tekad yang kuat untuk menyelesaikannya. Puasa Ramadan dapat diraih dari upaya dan tekad yang sungguh-sungguh mendatangkan kerelaan Allah atas para hamba-Nya. Semoga berpuasa Ramadan, semoga kita semua sukses dan selamat dalam menunaikannya, Amin (Erfan Subahar).